Jumat, 21 Januari 2011

Makna Pernikahan Dalam Tradisi Bima-dompu

Makna Pernikahan Dalam Tradisi Bima-Dompu
(Artikel Kampung)
KM Kota Bima (Sarangge) Pernikahan atau Nika ra neku dalam tradisi Bima- Dompu memiliki aturan baku. Aturan itu cukup ketat sehingga satu kesalahan bisa membuat rencana pernikahan (nika) menjadi tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-laki tidak diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari jalan berpapasan. Jika kebetulan berpapasan, maka calon dianggap tidak sopan. Untuk itu, harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu.
Aturan yang ketat itu tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini, tentu saja aturan tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau tinggal bersama calon mertua untuk mengabdi di sana.
“ Nika ro Neku” terdiri dari dua kata yaitu nika dan neku. Kata nika bersal dari bahsa Indonesia ( bahasa melayu) nikah. Karena bahasa Bima-Dompu tidak mengenal konsonan akhir, maka kata nikah menjadi “ nika”. Kata neku atau nako sama artinya dengan “nika”. Pengertian nika ro neku adalah serangkaian upacara adat yang dilakukan sebelum dan sesudah upacara lafa( akad).
Bagi semua orang tua, akan merasa berbahagia bila bisa melaksanakan sunah Rasul yang menganjurkan muslim dewasa untuk menikah. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila pelaksanaan nika diawali serta diakhiri dengan berbagai upacara adat sebagai luapan rasa bahagia dan syukur kehadapan Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT.
Bagi masyarakat Bima-Dompu, upacara  nika ro neku, merupakan upacara daur hidup yang sangat menentukan masa depan putra – putri mereka. Keluarga, sanak saudara, karib kerabat, dan warga terlibat dalam upacara ini. Karena itu upacara Nika ro neku termasuk “ Rawi Rasa” ( upacara yang harus melibatkan seluruh warga kampung).
Pada masa lalu, rangkaian pernikahan adat masyarakat Bima-Dompu cukup panjang yang dimulai dari proses meminang atau yang dikenal dengan La Lose Ro La Ludi hingga upacara Tawari atau Pamaco. Rangkaian dari upacara adat ini mengandung makna yang mendalam untuk diterapkan dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Seluruh rangkaian upacara itu sesungguhnya sesuai dengan ajaran Agama Islam dan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Rangkaian upacara itu telah tumbuh, berkembang dan bersemi dalam jiwa masyarakat pendukung kebudayaan Bima-Dompu selama berabad – abad lamanya. Masa kesultanan telah menyumbangkan nilai-nilai besar bagi perkembangan upacara adat dalam peri kehidupan masyarakat. Karena pada masa itu seni dan budaya, adat dan agama berjalan beriringan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
Namun setelah masa kesultanan berakhir dan seiring dengan perubahan zaman, rangkaian dari prosesi itu sudah banyak yang tidak dilakukan lagi. Pola hidup masyarakat masa kini yang serba simpel adalah salah satu penyebab dari hilangnya pagelaran upacara-upacara tersebut. Kini yang masih tetap dilakukan hanyalah seputar proses peminangan dan tunangan, pengantaran mahar, akad nikah dan resepsi yang megah.
Pola hidup masyarakat masa kini yang serba praktis dan simpel karena ksibukan masing-masing telah menggeser budaya gotong royong dan Teka Ra ne’e (pengantaran sumbangan ke keluarga yang berhajat) dalam setiap proses pernikahan di tengah masyarakat.
Untuk itu perlu sebuah upaya secara sungguh-sungguh untuk melestarikan kembali prosesi pernikahan adat Bima-Dompu untuk kepentingan wisata budaya yang akan menarik minat wisatawan, sekaligus penanaman nilai-nilai kepada generasi muda.

1 komentar: