Tarian atau Mpa’a Buja Kadanda merupakan salah satu dari sekian banyak tarian heroik warisan kesultanan Bima. Tarian ini digolongkan dalam Tari Rakyat atau Tari yang berkembang di lingkungan masyarakat seiring perkembangan kesultanan Bima.
Meskipun Tumbuh dan tumbuh dan berkembang di luar istana, namun sultan melalui para seniman istana, tetap mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan tarian rakyat, dengan demikian mutu tari tetap terpelihara dan terpacu pada nilai dan norma agama dan adat yang islami. Kebijakan istana dalam hal ini sultan bersama seniman istana sangat berbeda dengan kebijakan sultan dan seniman Istana Jawa (Yogya, Surakarta dan Solo).
Raja dan seniman di lingkungan Istana Yogyakarta, Surakarta dan Solo, tidak memperhatikan perkembangan kesenian rakyatnya, termasud seni tari. Istana hanya mengutaman perkembangan kesenian termasuk seni tari istana atau klasik saja.
Tari ini dibawakan oleh dua orang pemain laki – laki dengan mempergunakan senjata “buja kadanda” atau tombak berumbai bulu ekor kuda, dilengkapi dengan perisai (perisai). Karena itu tari ini diberi nama mpa’a buja kadanda. Diiringi musik genda Mbojo.
Bagaimana alur tarian ini ?
Diawali oleh penabuhan dua Gendang, Gong, Serunai dan Tawa-Tawa. Awalnya Gendang ditabuh dengan irama lamban. Kemudian para pemain dengan menggunakan Buja Kadanda masuk satu persatu memberi salam kepada para penonton atau undangan dan mulai memainkan Buja Kadanda dengan style masing-masing. Gaya dan gerakannya hampir mirip dengan pencak silat, tetapi mereka menggunakan Buja Kadanda.
Semakin lama, alunan dan tabuhan gendang dipercepat dan pemain/penarinya pun mulai saling memukul dengan menggunakan buja Kadanda. Dan diakhir pementasan, alunan Gendang diperlambat lagi sebagai aba-aba bahwa atraksi harus segera diakhiri. Kemudian para penari berangkulan dan memberi salam kepada para penonton dan undangan.
Seiring perkembangan zaman, Buja Kadanda sudah jarang dimainkan. Saat ini hanya tinggal beberapa sanggar Seni saja yang menampilkan atraksi ini seperti di kecamatan Wawo. Keli woha, Dan Bolo. Perlu adanya perhatian dan pembinaan serta proses regenerasi terhadap atraksi kesenian tradisional ini
Di adopsi dari : http://alanmalingi.wordpress.com
Disini anda bisa mendapatkan pengetahuan tentang kebudayaan, sejarah, bahkan permainan tradisional dari daerah Bima. Bagi anda yang mengaku diri orang Bima, Wajib mampir dan melihat blog ini, jangan lupa untuk memberikan komentar. SALAM SATU JIWA.......!!!!
Kata Sambutan
Senin, 19 September 2011
Plus Minus Keberadaan Biola Katipu
Seni musik jenis ini baru berkembang di era tahun 2000 an. Biola Katipu adalah perpaduan musik Biola, Katipu (Ketipung), Gambo (Gambus), Gitar Bas, Daf dan Rawa Mbojo. Jenis musik ini cukup digemari masyarakat Bima- Dompu, karena menghadirkan nuansa baru jenis musik Rawa Mbojo dengan musik Dangdut. Lyrik lagu yang dinyanyikan kebanyakan lyrik musik dangdut tapi syairnya dalam bahasa Bima-Dompu.
Karena merupakan perpaduan dengan musik Dangdut, banyak lirik lagu dangdut yang bersyair Bima dilantunkan dalam Biola Katipu, misalnya lirik dan isntrumen dagdut Meggy Z, Hamdan ATT, dan Caca Handika. Meskipun masih ada juga lirik-lirik Rawa Mbojo yang dilantunkan kembali dalam Harmony musik Biola Katipu.
Kehadiran Biola Katipu di tengah masyarakat Bima-Dompu memang membawa perubahan pada nuansa dan khasanah musiknya. Namun patut disayangkan, banyak pantun Bima-Dompu yang dari syair lagu-lagu dalam Biola Katipu yang kurang mendidik. Dan tidak jaran terjadi perkelahaian ketika digelar Biola Katipu.
Semua ini tentun harus menjadi perhatian masyarakat terutama para seniman dan tokoh masyarakat untuk meluruskan dan mengantisipasi hal tersebut agar tidak terjadi keributan dan pantun yang menjadi syair lagunya menjadi berbobot, penuh nilai dan pesan moral serta mendidik.
Diadopsi dari : http://alanmalingi.wordpress.com
Karena merupakan perpaduan dengan musik Dangdut, banyak lirik lagu dangdut yang bersyair Bima dilantunkan dalam Biola Katipu, misalnya lirik dan isntrumen dagdut Meggy Z, Hamdan ATT, dan Caca Handika. Meskipun masih ada juga lirik-lirik Rawa Mbojo yang dilantunkan kembali dalam Harmony musik Biola Katipu.
Kehadiran Biola Katipu di tengah masyarakat Bima-Dompu memang membawa perubahan pada nuansa dan khasanah musiknya. Namun patut disayangkan, banyak pantun Bima-Dompu yang dari syair lagu-lagu dalam Biola Katipu yang kurang mendidik. Dan tidak jaran terjadi perkelahaian ketika digelar Biola Katipu.
Semua ini tentun harus menjadi perhatian masyarakat terutama para seniman dan tokoh masyarakat untuk meluruskan dan mengantisipasi hal tersebut agar tidak terjadi keributan dan pantun yang menjadi syair lagunya menjadi berbobot, penuh nilai dan pesan moral serta mendidik.
Diadopsi dari : http://alanmalingi.wordpress.com
Minggu, 24 Juli 2011
SUNA RANDOSO
Suna randoso atau sunatan dan khitanan adalah merupakan keharusan sebagi orang tua juka mempunyai anak laki-laki atau perempuan berumur 7 – 9 tahun bagi yang laki disebut sunatan dan anak perempuan disebut khitanan sebagai warisan budaya dan adat masyarakat dompu yang berasaskan kitabaullah dan ajaran rasulullah sesungguh anak yang berumur 7 – 9 tahun harus disunat dan dikhitan tentunya mempunyai patokan dan ketentuan adat istiadat yang berlaku :
I. Musyawarah (mbolo weki) yang merupakan kesepahaman dan kesepakatan diantara keluarga dekat dan masyarakat dompu pada umumnya melaksanakan secara bersama-sama juka ada hajatan atau disebut dengan bahasa daerahnya (kancombu rakancore).
II. Hataman al-qur’an yang pada dasarnya anak yang disunat dan dikhitan sebaiknya bisa mengaji dahulu sebelum disunat.
III. Melakukan ngaji jama’ (ngaji jama’) sekaligus do’a bersama agar pelaksanaan hajatan yang dimaksud terhindar dari hambatan dan rintangan sejak awal hingga pada akhirnya.
IV. Arak-arakan dengan menggunakan umalige (rumah tradisi dompu sebagai tempat duduk mereka kemudian dipasung secara bersama-sama berkeliling kampung dan diiringi dengan gendang besar dan nafiri (silu) juga …………… Yang lainnya seperti jara, sarone, kareku kandei. Tari penyambutan dan permainan rakyat seperti gantaung, permainan prisaian dan hadara.
V. Kapanca adalah merupakan pemberian kecantikan pada diri si anak agar dia bisa melupakan rasa sakit yang ia bayangkan yang dilakukan oleh kaum wanita yang mempunyai karismatik ditengah-tengah masyarakat terdiri dari 7, 9 bahkan 11 orang dengan menggunakan beras kuning untuk ditabur pada sekeliling anak, air bunga untuk diteteskan pada badan dan daun pacar untuk ditempelkan pada telapak tangan si anak dengan melakukan zikir (sarafal anam) sebai pengirim diaat melakukan kapanca.
VI. Compo sampari (persenyawaan dengan bedogan) yang dilakukan oleh kaum bapak, anak laki-laki agar diri si anak tidak gentar dan takut menghadapi musibah yang menimpa dirinya yaitu ujung kemaluannya dipotong (dou rangga) dan sebagai landasan petuah adat masyarakat dompu jasmani dan rohani harus memiliki empat faktor untuk kehidupan yaitu : umataho, wei taho, jara taho, besi taho yang artinya rumah yang baik, istri yang baik, kuda yang baik dan besi yang baik untuk kehidupan.
VII. Makka adalah si anak dengan melakukan gerakan menghulu keris ……………. Pusaka dengan mengentaskan kakinya sambul berucap tas rumae 3 x. Dompora sumpu wudu lamada mada watira dahuku. ……. Ake dou rangga ……. Mada dahu dipili tas rumae 1, 2 kali dengan langkah mundurdan mencium keris dan keris dimasukan pada sarungnya yang artinya :
- tas ruma = dengan nama tuhan aku bertawakal.
- dompo sumpu wudu lamada = potong ujung kemaluanku.
- ake dou rangga = saya orang yang kuat (laki-laki jantan).
- mada dadahu dipili tidak takut rasa sakit.
- tas rumae = bertawakal atas nama tuhanku.
- tas ruma = dengan nama tuhan aku bertawakal.
- dompo sumpu wudu lamada = potong ujung kemaluanku.
- ake dou rangga = saya orang yang kuat (laki-laki jantan).
- mada dadahu dipili tidak takut rasa sakit.
- tas rumae = bertawakal atas nama tuhanku.
VIII. Penyunatan dan penghitanan :
Proses ini bagi anak laki-laki dilakun oleh kaum bapak bagi anak perempuan dilakukan oleh kaum ibu disaat sunat dan khitanan selalu dibunyikan gendang dan salawat nabi dan sisa kotoran tersebut dimasukan dalam periuk baru yang berlilitkan kain kafan dan benang putih lalu dibuang kesungai dengan melempar diatas loteng dengan bahasa petuah agar anak tersebut dikelak kemudian hari anak tersebut menjadi pemimpin dan panutan bagi orang lain.
Proses ini bagi anak laki-laki dilakun oleh kaum bapak bagi anak perempuan dilakukan oleh kaum ibu disaat sunat dan khitanan selalu dibunyikan gendang dan salawat nabi dan sisa kotoran tersebut dimasukan dalam periuk baru yang berlilitkan kain kafan dan benang putih lalu dibuang kesungai dengan melempar diatas loteng dengan bahasa petuah agar anak tersebut dikelak kemudian hari anak tersebut menjadi pemimpin dan panutan bagi orang lain.
IX. Do’a (jamu bersama)
Bermohon pada yang maha kuasa agar anak yang disunat dan dikhitan selamt dan cepat sembuh luka yang dideritanya dan semoga anak tersebut taat pada orang tua dan berguna bagi masyarakat bangsa dan negara serta menegakkan agamanya, amin ya rabal alamin.
Bermohon pada yang maha kuasa agar anak yang disunat dan dikhitan selamt dan cepat sembuh luka yang dideritanya dan semoga anak tersebut taat pada orang tua dan berguna bagi masyarakat bangsa dan negara serta menegakkan agamanya, amin ya rabal alamin.
X. Sedekah (mebagi-bagikan isi bumi yang diperagakan sebagai sesajin untuk memperindah dan bahan untuk kehidupan) seperti :
- wua haju = buah-buahan.
- isi dana = biji-bijian dari tanah.
- pangaha = jajan tradisional
- wua haju = buah-buahan.
- isi dana = biji-bijian dari tanah.
- pangaha = jajan tradisional
Sedekah ini diberikan kepada anak-anak sekitarnya dan dukun sunat (sando sunat)
Demikian uraian singkat tentang prosesi sunatan dan khitanan atau bahasa daerahnya disebut “suna randoso” yang menjadi kebiasaan masyarakat dompu tempo dulu hingga sekarang yang telah ditetapkan dengan patokan hukum adat dan tradisi masyarakat bumi nggahi rawi pahu kabupaten dompu atas saran kritikan dari semua pihak kami terima dengan senang hati sebagai menambah wawasan dan pengetahuan untuk kelengkapan budaya lokal untuk dijadikan budaya nasional dimasa-masa yang akan datang.
Uta Maju (Daging Rusa) Salah Satu Makanan Khas Bima
Uta Maju
Daerah Bima memiliki banyak ciri makanan khas antara lain adalah Uta Maju (baca:Daging rusa) di Bima biasanya diawetkan dengan cara didendeng. Dendeng Daging Rusa Bima tidak menggunakan bumbu yang bermacam-macam sebagai layaknya dendeng pada umumnya yang menggunakan ketumbar dan gula. Dendeng rusa Bima hanya menggunakan garam, jaman dulu mungkin orang Bima memang tidak mengenal macam-macam bumbu atau mungkin orang Bima mengutamakan rasa yang orisinil, sebuah citarasa. Ini juga patut disyukuri karena dengan jenis dendeng yang seperti ini daging rusa bisa diolah kembali menjadi berbagai macam masakan. Bukan hanya daging yang diawetkan/didendeng tapi juga tulang iga rusa juga diawetkan untuk selanjutnya menjadi bahan campuran sayur.Karena saya hanya penikmat saja jadi tidak mungkin untuk menulis pengolahan daging rusa segar karena daging rusa segar bisa dibuat bermacam-macam masakan seperti halnya daging kambing, sate. gulai atau semur. Saya ingin menghadirkan yang khas Bima saja. Pada saat ini semakin sulit mendapatkan Dendeng Rusa karena populasi Rusa Bima yang sudah jauh berkurang atau mungkin bisa dikatakan sebentar lagi akan punah! Uta Maju Puru (Daging Rusa Bakar) Bahan-bahan yang dibutuhkan Dendeng Maju, potong-potong sesuai selera Siapkan panggangan beserta arang buatlah bara/bisa juga langsung bakar di atas nyala kompor. Siapkan martil pemukul daging dan alasnya, bisa berupa talenan atau cobek Cara Membuatnya Bakar daging dendeng uta Maju di atas bara api, bolak balik sebentar, setelah harum angkat, taruh daging diatas cobek lalu memarkan dengan martil jangan sampai tercabik-cabik biarkan utuh, bakar lagi sebentar sampai diperkirakan matang. Bila dagingnya terlalu asin bisa dicuci dulu sebelum diolah, bila masih terasa terlalu asin juga cuci lagi setelah dimemarkan sebelum dibakar untuk kedua kalinya. Siap dihidangkan dengan sayur asam wua parongge.
Uta Maju Ncango (baca:Daging Rusa Goreng) Dendeng Maju, potong-potong sesuai selera Siapkan panggangan beserta arang buatlah bara/bisa juga langsung dibakar di atas nyala kompor Siapkan martil pemukul daging dan alasnya, bisa berupa talenan atau cobek 3 sendok makan minyak goreng Alat penggorengan Cara Membuatnya Bakar daging dendeng uta Maju di atas bara api, bolak balik sebentar, setelah harum angkat, taruh daging diatas cobek lalu memarkan dengan martil jangan sampai tercabik-cabik biarkan utuh. Panaskan minyak dengan api kecil, goreng daging sudah dimemarkan. Goreng hanya sebentar saja (seperti menggoreng ikan asin). Bila dagingnya terlalu asin ikuti petunjuk di atas; cuci setelah dimemarkan lalu digoreng.
Uta Maju Ncango Sipa (Daging Rusa Abon) Bahan-bahan yang dibutuhkan 1/2kg dendeng Maju Siapkan panggangan beserta arang buatlah bara/bisa juga langsung bakar di atas nyala kompor Siapkan martil pemukul daging dan alasnya, bisa berupa talenan atau cobek 1/4kg bawang merah (Buatlah bawang goreng untuk tabur) 10 tangkai cabe keriting potong serong, bila suka pedas (goreng untuk tabur) Bumbu Perendam 1 gelas air asam jawa/bima dari 1 lembar asam matang ½ kepal gula jawa/gula merah (kurangi bila tidak suka manis) Garam sedikit (sesuaikan dengan keasinan dendeng) Penyedap rasa bila suka 1/4lt minyak untuk menggoreng Alat penggorengan Cara Membuatnya Bakar daging dendeng uta Maju di atas bara api, bolak balik sebentar, setelah harum angkat, taruh daging diatas cobek lalu memarkan dengan martil. Suwir-suwir daging tersebut dengan menggunakan tangan, jangan terlalu halus. Bumbu Perendam : Haluskan gula, campur dengan air asam serta garam dan penyedap rasa. Masukkan daging yang sudah dicabik ke dalam bumbu perendam diamkan 30 menit. Goreng di atas api sedang setelah matang angkat dan tiriskan. Campur denga bawang goreng dan cabe goreng. Cocok untuk disimpan dan untuk perjalanan jauh. Karena hanya daging kering yang diasinkan, uta Maju masih bisa dibuat bermacam-macam masakan, misalnya : Mpal goreng, dendeng balado atau bisa juga disayur atau masakan yang berkuah.
Pantai Lakey Yang Memiliki Ombak Terlengkap Di Dunia
Pantai Lakey, terletak di Kecamatan Huu, Kabupaten Dompu, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat adalah salah satu pantai indah yang dimiliki bangsa ini dan mungkin belum banyak diketahui bahkan oleh masyarakat kita sendiri. Pantai ini dikenal dengan kehebatan dan konsistensi ombaknya sehingga menjadi lokasi berselancar terbaik di dunia. Pantai Lakey bahkan konon dikenal karena memiliki jenis ombak terlengkap dibandingkan dengan pantai lain yang ada di dunia ini. Jenis ombak tersebut adalah :
1. Nangas, adalah jenis ombak yang bentuknya mendatar
2. Lakey peak adalah ombak yang awalnya memuncak kemudian mendatar,
3. Pipe, adalah ombak yang bentuknya menyerupai pipa, suatu jenis ombak yang juga ditemui di Hawaii.
4. Periscope, adalah jenis ombak yang menyerupai teropong sehingga saat meliuk di atasnya, peselancar seolah ada di dalam teropong.
Apabila di Pulau Nias atau Hawaii ombaknya hanya bergerak satu arah, maka ombak Lakey bisa bergerak dari dua arah, kiri dan kanan. Secara teknis, ombak Lakey pun dianggap aman untuk olah raga selancar karena dalam kondisi normal, tinggi ombak antara 1,5 sampai 3 meter dan kedalaman pantai 4 meter. Deburan ombak berjarak 150 meter dari pasang surut air.
Pantai Lakey telah menjadi salah satu objek wisata andalan Kabupaten Dompu dan dari tahun ke tahun penataan terhadap pantai ini mengalami peningkatan. Namun demikian, tentu saja upaya kea rah perbaikan sarana dan prasarana di wilayah objek wisata ini perlu terus ditingkatkan hingga Pantai Lakey dapat dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata bagi wisatawan dalam negeri maupun mancanegara. Bukankah keindahan pantai ini adalah anugerah Tuhan yang harus kita pelihara demi kebaikan warga sekitar khususnya dan bangsa ini pada umumnya.
1. Nangas, adalah jenis ombak yang bentuknya mendatar
2. Lakey peak adalah ombak yang awalnya memuncak kemudian mendatar,
3. Pipe, adalah ombak yang bentuknya menyerupai pipa, suatu jenis ombak yang juga ditemui di Hawaii.
4. Periscope, adalah jenis ombak yang menyerupai teropong sehingga saat meliuk di atasnya, peselancar seolah ada di dalam teropong.
Apabila di Pulau Nias atau Hawaii ombaknya hanya bergerak satu arah, maka ombak Lakey bisa bergerak dari dua arah, kiri dan kanan. Secara teknis, ombak Lakey pun dianggap aman untuk olah raga selancar karena dalam kondisi normal, tinggi ombak antara 1,5 sampai 3 meter dan kedalaman pantai 4 meter. Deburan ombak berjarak 150 meter dari pasang surut air.
Pantai Lakey telah menjadi salah satu objek wisata andalan Kabupaten Dompu dan dari tahun ke tahun penataan terhadap pantai ini mengalami peningkatan. Namun demikian, tentu saja upaya kea rah perbaikan sarana dan prasarana di wilayah objek wisata ini perlu terus ditingkatkan hingga Pantai Lakey dapat dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata bagi wisatawan dalam negeri maupun mancanegara. Bukankah keindahan pantai ini adalah anugerah Tuhan yang harus kita pelihara demi kebaikan warga sekitar khususnya dan bangsa ini pada umumnya.
Sabtu, 28 Mei 2011
Kamis, 19 Mei 2011
Objek Wisata Pulau Ular
Mendengar nama Ular, binatang yang satu ini, anda jangan dulu merasa takut atau trauma. Yakinlah bahwa ribuan ular yang ada di Pulau Ular ini tidaklah seseram yang anda bayangkan. Ular-ular di pulau ini sangat ramah dan bersahabat dengan manusia.
Mau bukti? Kunjungilah “Pulau Ular” yang berada di Kecamatan Wera Kabupaten Bima. Salah satu pulau yang berada di tengah perairan bagian timur wilayah Kecamatan Wera. Pulau ini juga bersebelahan dengan dua obyek wisata andalan daerah Kabupaten Bima, yaitu Pulau Gilibanta dan Tolowamba.
Pulau ini merupakan habitat bagi populasi ular laut dengan keunikan warnanya, seperti warna putih silver dikombinasikan dengan hitam kilat. Ular-ular ini jinak dan bersahabat dengan wisatawan yang mengunjunginya.
Pulau Ular dapat dijangkau dengan jarak tempuh lebih kurang 45 menit perjalanan dari Kota Bima dengan menggunakan transportasi darat. Setelah tiba di Desa Kalo Kecamatan Wera, selanjutnya untuk menuju Pulau Ular, anda harus menggunakan perahu/sampan yang telah disediakan masyarakat sekitar dengan waktu tempuh 15 menit dari daratan.
Mengunjungi obyek wisata Pulau Ular, anda juga disuguhi dengan pemandangan dan keindahan pesona Laut Bima. Dari Pulau Ular, juga anda dapat melihat Gunung Api Sangiang.
Rabu, 18 Mei 2011
Asal Usul Masyarakat Bima
Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air. Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari imigrasi yang dilakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragamnya etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meskipun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragama Islam. Untuk itu, dalam pembahasan berikut akan kita lihat bagaimana keragaman masyarakat Bima tersebut, baik dilihat dari imigrasi secara etnis/budaya maupun secara agama/kepercayaan.
Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya
Orang Donggo
Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo Di, sebagian lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele.
Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut datang.
Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut. Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden).
Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi. Saat ini, telah sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah pola hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji.
Dou Mbojo (Orang Bima)
Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya. Para pendatang ini dating pada sekitar abad XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah.
Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain. Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo.
Orang Arab dan Melayu
Orang Melayu umumnya berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng. Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat tertekan karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup variatif. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.
Pendatang Lainnya
Para pendatang ini datang dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang dari Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para pendatang lain. Orang Cina tak ketinggalan memiliki peran di Bima, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang tergolong kecil namun karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka dalam perekonomian Bima sangat signifikan.
Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Agama
Kepercayaan Makakamba - Makakimbi
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam ini, yang kemudian mereka sebut sebagai “Marafu”. Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat tersebut. Selain itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib.
Masyarakat asli juga memiliki tradisi melalui ritual untuk menghormati arwah leluhur, dengan mengadakan upacara pemujaan pada saat-saat tertentu. Upacara tersebut disertai persembahan sesajen dan korban hewan ternak yang dipimpin oleh Ncuhi. Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa dikenal dengan nama “Parafu Ra Pamboro”.
Agama Hindu
Sampai saat ini belum ada ilmuwan/sejarawan yang mengetahui secara pasti kapan agama Hindu memasuki tanah Bima. Dari sekian petunjuk peninggalan sejarah yang berupa prasasti maupun berbentuk monumen seperti prasasti Wadu Pa’a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar pertengahan abad VIII, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang, tidak meninggalkan informasi yang jelas tentang masuknya agama Hindu. Pengaruh agama Hindu dari Bali dan Lombok yang cukup besar tidak mampu menembus wilayah Bima, dan hanya bertahan di wilayah Dompu dan sebagian daerah Bolo.
Agama Kristen
Secara umum, Dou Mbojo tidak senang dengan kedatangan agama ini. Agama Kristen dianggap sebagai agama orang luar yang sangat berbeda dengan kenyataan hidup dan budaya mereka. Meskipun agama Kristen kurang mendapat angin segar dari Dou Mbojo, namun agama ini berhasil menyebar dan dianut oleh masyarakat pendatang lainnya seperti pendatang dari Timur, anggota polisi/tentara, serta pendatang dari Jawa dan Manado, yang awalnya mendiami daerah-daerah pesisir Bima dan kemudian sebagian kecil lagi memasuki daerah-daerah pedalaman. Akhir-akhir ini, tampaknya kegagalan sejarah tersebutlah yang kemudian memotivasi kembali kaum misionaris untuk melancarkan misinya ke daerah-daerah pelosok dan kepada masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan tergolong terbelakang, melalui apa yang dikenal dengan program “Plan”. Namun, lagi-lagi misi ini bukan tak ada hambatan, karena kemudian Majelis Ulama Indonesia NTB melarang keberadaan mereka dengan segala aktivitasnya.
Agama Islam
Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat lebih mudah diterima di Bima. Pertama, jauh-jauh waktu sebelum diberlakukannya secara resmi sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh masyarakat pesisir. Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan dari masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima. Letak Bima yang strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar daerah bahkan sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional, yang didukung dengan keberadaan Pelabuhan Sape.
Sebagai sultan pertama, diangkatlah Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran sultan pertama ini memiliki pengaruh yang besar dan luas sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Selain Donggo, Wawo juga termasuk sebagian daerahnya masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam, karena makin sulitnya arus komunikasi terbatas internal yang mereka lakukan sesamanya serta makin meluasnya arus komunikasi masyarakat yang beragama Islam. Sekarang, bahkan di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat.
Dalam kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Hadat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang berdasarkan Islam dan kitabnya.
Penyebaran yang demikian pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta masjid-masjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah Bima. Pusat-pusat pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di setiap sore dan malam hari.
Pada masa kesultanan juga diperlakukan aturan yang bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan Hukum Syara atau Mahkamah Tussara’iyah, yang mengirim pemuda-pemuda Bima untuk belajar memperdalam kaidah dan pengetahuan Islam ke Mekkah, Mesir, Istamul dan Bagdad serta negara-negara Arab lainnya. Bahkan telah diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu jamaah calon haji Dou Mbojo yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah haji.
Demikian dua model variasi masyarakat Bima yang kita lihat dan kenal sekarang. Meski demikian, pada perkembangan-perkembangan terakhir sebagaimana kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia umumnya dengan semakin cepatnya arus modernisasi, kenyataan tersebut secara perlahan mengalami perubahan. Berbagai perubahan tersebut semakin memberi warna, baik putih maupun hitam, dalam beragam kehidupan dan keseharian masyarakat Bima.
Sebagai penutup, yang kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada.
Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Etnis/Budaya
Orang Donggo
Orang Donggo dikenal sebagai penduduk asli yang telah menghuni tanah Bima sejak lama. Mereka sebagian besar menempati wilayah pegunungan. Karena letaknya yang secara geografis di atas ketinggian rata-rata tanah Bima, Dou Donggo (sebutan bagi Orang Donggo dalam bahasa Bima), kehidupan mereka sangat jauh berbeda dengan kehidupan yang dijalani masyarakat Bima saat ini. Masyarakat Donggo mendiami sebagian besar wilayah Kecamatan Donggo sekarang, yang dikenal dengan nama Dou Donggo Di, sebagian lagi mendiami Kecamatan Wawo Tengah (Wawo pegunungan) seperti Teta, Tarlawi, Kuta, Sambori dan Kalodu Dou Donggo Ele.
Pada awalnya, sebenarnya penduduk asli ini tidak semuanya mendiami wilayah pegunungan. Salah satu alasan mengapa mereka umumnya mendiami wilayah pegunungan adalah karena terdesak oleh pendatang-pendatang baru yang menyebarkan budaya dan agama yang baru pula, seperti agama Islam, Kristen dan bahkan Hindu/Budha. Hal ini dilakukan mengingat masih kuatnya kepercayaan dan pengabdian mereka pada adat dan budaya asli yang mereka anut jauh-jauh hari sebelum para pendatang tersebut datang.
Kepercayaan asli nenek moyang mereka adalah kepercayaan terhadap Marafu (animisme). Kepercayaan terhadap Marafu inilah yang telah mempengaruhi segala pola kehidupan masyarakat, sehingga sangat sukar untuk ditinggalkan meskipun pada akhirnya seiring dengan makin gencarnya para penyiar agama Islam dan masuknya para misionaris Kristen menyebabkan mereka menerima agama-agama yang mereka anggap baru tersebut. Sebagaimana umumnya mata pencaharian masyarakat yang masih tergolong tradisional, mata pencaharian Dou Donggo pun terpaku pada berladang dan bertani. Sebelum mengenal cara bercocok tanam, mereka biasanya melakukan perladangan berpindah-pindah, dan karena itu tempat tinggal mereka pun selalu berpindah-pindah pula (nomaden).
Berhadapan dengan kian gencarnya arus modernisasi, seiring itu pula pemahaman masyarakat akan kenyataan hidup berubah, terutama dalam hal pendidikan dan teknologi. Saat ini, telah sekian banyak para sarjana asli Donggo, yang umumnya menimba ilmu di luar daerah seperti Ujung Pandang, Mataram atau bahkan ke kota-kota di pulau Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Jakarta dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan teknologi, yang akhirnya merubah pola hidup mereka seperti halnya dalam penggarapan sawah, kendaraan sampai alat-alat elektronik rumah tangga, karena hampir semua daerahnya telah dialiri listrik. Bahkan tak jarang mereka menjadi para penyiar agama seperti Da’i, karena telah begitu banyaknya mereka naik haji.
Dou Mbojo (Orang Bima)
Dou Mbojo yang dikenal sekarang awalnya merupakan para pendatang yang berasal dari daerah-daerah sekitarnya seperti Makassar, Bugis, dengan mendiami daerah-daerah pesisir Bima. Mereka umumnya berbaur dengan masyarakat asli dan bahkan menikahi wanita-wanitanya. Para pendatang ini dating pada sekitar abad XIV, baik yang datang karena faktor ekonomi seperti berdagang maupun untuk menyiarkan agama sebagai mubaliqh. Mata pencaharian mereka cukup berfariasi seperti halnya bertani, berdagang, nelayan/pelaut dan sebagian lagi sebagai pejabat dan pegawai pemerintah.
Karena pada awalanya mereka adalah pendatang, pada beberapa generasi kemudian banyak juga yang merantau ke luar daerah untuk berbagai keperluan dan profesi seperti sebagai pegawai daerah, sekolah/kuliah, menjadi polisi/tentara, pedagang dan lain-lain. Umumnya mereka memiliki sifat ulet, mudah menyesuaikan diri dengan orang lain dan bahkan kasar. Hingga kini, beberapa daerah di Bima mewarisi sifat-sifat kasar ini seperti beberapa daerah (desa) di Kecamatan Sape, Wera dan Belo.
Orang Arab dan Melayu
Orang Melayu umumnya berasal dari Minangkabau dan daerah-daerah lain di Sumatera, baik sebagai pedagang maupun sebagai mubaliqh. Jumlah mereka termasuk minoritas, yang pada awalnya menempati daerah Bima pesisir Teluk Bima, Kampung Melayu dan Benteng. Terdorong oleh arus mobilitas penduduk yang cukup cepat, sekarang sebagian besar mereka telah membaur ke wilayah-wilayah pedalaman bersama masyarakat Bima lainnya. Orang Arab pun datang ke Bima sebagai pedagang dan mubaliqh. Awal kedatangan orang Arab umumnya sangat tertekan karena harus berhadapan dengan masyarakat Bima yang sudah cukup variatif. Mereka dianggap sebagai pendatang dari Arab, sebagai turunan Nabi. Akan tetapi, sekarang mereka telah diterima secara umum dan wajar, serta telah berbaur dengan masyarakat. Bahkan seiring dengan kuatnya pengaruh Islam melalui Hadirnya Kesultanan Bima, termasuk orang Melayu, sering dianggap istimewa karena biasanya pada masa Kesultanan Bima mereka diangkat sebagai Da’I dan pejabat hadat di seluruh pelosok tanah Bima.
Pendatang Lainnya
Para pendatang ini datang dengan latar belakang yang beragam, dengan menduduki berbagai profesi baik sebagai pejabat pemerintah, polisi/tentara, pedagang/pengusaha. Mereka datang dari Jawa, Madura, Ambon, Flores, Timor-Timur, Banjar, Bugis, Bali, Lombok yang kemudian membaur dan menikah dengan masyarakat Bima asli maupun dengan para pendatang lain. Orang Cina tak ketinggalan memiliki peran di Bima, yang umumnya berprofesi sebagai pedagang. Dari segi jumlah, orang Cina memang tergolong kecil namun karena mereka sangat gigih dan ulet, peran mereka dalam perekonomian Bima sangat signifikan.
Variasi Masyarakat Bima Berdasarkan Agama
Kepercayaan Makakamba - Makakimbi
Kepercayaan ini merupakan kepercayaan asli penduduk Dou Mbojo. Sebagai media penghubung manusia dengan alam lain dalam kepercayaan ini, diangkatlah seorang pemimpin yang dikenal dengan nama Ncuhi Ro Naka. Mereka percaya bahwa ada kekuatan yang mengatur segala kehidupan di alam ini, yang kemudian mereka sebut sebagai “Marafu”. Sebagai penguasa alam, Marafu dipercaya menguasai dan menduduki semua tempat seperti gunung, pohon rindang, batu besar, mata air, tempat-tempat-tempat dan barang-barang yang dianggap gaib atau bahkan matahari. Karena itu, mereka sering meminta manfaat terhadap benda-benda atau tempat-tempat tersebut. Selain itu, mereka juga percaya bahwa arwah para leluhur yang telah meninggal terutama arwah orang-orang yang mereka hormati selama hidup seperti Ncuhi, masih memiliki peran dan menguasai kehidupan dan keseharian mereka. Mereka percaya, arwah-arwah tersebut tinggal bersama Marafu di tempat-tempat tertentu yang dianggap gaib.
Masyarakat asli juga memiliki tradisi melalui ritual untuk menghormati arwah leluhur, dengan mengadakan upacara pemujaan pada saat-saat tertentu. Upacara tersebut disertai persembahan sesajen dan korban hewan ternak yang dipimpin oleh Ncuhi. Tempat-tempat pemujaan tersebut biasa dikenal dengan nama “Parafu Ra Pamboro”.
Agama Hindu
Sampai saat ini belum ada ilmuwan/sejarawan yang mengetahui secara pasti kapan agama Hindu memasuki tanah Bima. Dari sekian petunjuk peninggalan sejarah yang berupa prasasti maupun berbentuk monumen seperti prasasti Wadu Pa’a yang dipahat Sang Bima saat mengembara ke arah timur pada sekitar pertengahan abad VIII, bekas candi di Ncandi Monggo, prasasti Wadu Tunti di Rasabou Donggo, kuburan kuno Padende dan Sanggu di Pulau Sangiang, tidak meninggalkan informasi yang jelas tentang masuknya agama Hindu. Pengaruh agama Hindu dari Bali dan Lombok yang cukup besar tidak mampu menembus wilayah Bima, dan hanya bertahan di wilayah Dompu dan sebagian daerah Bolo.
Agama Kristen
Secara umum, Dou Mbojo tidak senang dengan kedatangan agama ini. Agama Kristen dianggap sebagai agama orang luar yang sangat berbeda dengan kenyataan hidup dan budaya mereka. Meskipun agama Kristen kurang mendapat angin segar dari Dou Mbojo, namun agama ini berhasil menyebar dan dianut oleh masyarakat pendatang lainnya seperti pendatang dari Timur, anggota polisi/tentara, serta pendatang dari Jawa dan Manado, yang awalnya mendiami daerah-daerah pesisir Bima dan kemudian sebagian kecil lagi memasuki daerah-daerah pedalaman. Akhir-akhir ini, tampaknya kegagalan sejarah tersebutlah yang kemudian memotivasi kembali kaum misionaris untuk melancarkan misinya ke daerah-daerah pelosok dan kepada masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan dan tergolong terbelakang, melalui apa yang dikenal dengan program “Plan”. Namun, lagi-lagi misi ini bukan tak ada hambatan, karena kemudian Majelis Ulama Indonesia NTB melarang keberadaan mereka dengan segala aktivitasnya.
Agama Islam
Ada dua alasan utama kenapa agama Islam dapat lebih mudah diterima di Bima. Pertama, jauh-jauh waktu sebelum diberlakukannya secara resmi sebagai agama kerajaan, masyarakat Bima sudah lebih dulu mengenal agama Islam melalui para penyiar agama dari tanah Jawa, Melayu bahkan dari para pedagang Gujarat dari India dan Arab di Sape pada tahun 1609 M, yang awalnya dianut oleh masyarakat pesisir. Kedua, tentu saja peran yang penting adalah peralihan dari masa kerajaan kepada masa kesultanan yang kemudian secara resmi menjadikan agama Islam sebagai agama yang umum dianut oleh masyarakat Bima. Letak Bima yang strategis sangat mendukung sebagai jalur perdagangan antar daerah bahkan sebagai jalur transportasi perdagangan laut internasional, yang didukung dengan keberadaan Pelabuhan Sape.
Sebagai sultan pertama, diangkatlah Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1620 M. Kehadiran sultan pertama ini memiliki pengaruh yang besar dan luas sehingga penyebaran agama Islam begitu cepat di seluruh pelosok tanah Bima, kecuali di daerah-daerah tertentu seperti di Donggo yang masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Selain Donggo, Wawo juga termasuk sebagian daerahnya masih bertahan pada kepercayaan nenek moyang. Akan tetapi pada beberapa generasi berikutnya mereka mulai menerima Islam, karena makin sulitnya arus komunikasi terbatas internal yang mereka lakukan sesamanya serta makin meluasnya arus komunikasi masyarakat yang beragama Islam. Sekarang, bahkan di daerah-daerah yang dulu memegang kuat adat nenek moyang, hampir tidak dapat dibedakan antara Islam dengan budaya setempat.
Dalam kehidupan yang demikian Islami tersebut, muncul satu ikrar setia pada Islam dalam bentuk ikrar yang berbunyi “Mori ro made na Dou Mbojo ede kai hukum Islam-ku” yang berarti “Hidup dan matinya orang Bima harus dengan hukum Islam”. Untuk menguatkan ikrar ini, bahkan sejak masa kesultanan telah dibentuk sebuah majelis yang dikenal dengan Hadat Tanah Bima, yang bertugas dan bertanggung jawab selain sebagai sarana penyiaran dan penyebaran Islam juga sebagai penentu segala kebijakan kesultanan yang berdasarkan Islam dan kitabnya.
Penyebaran yang demikian pesat ini juga diiringi dengan berkembangnya berbagai pusat pendidikan dan pengajaran Islam, serta masjid-masjid selalu menghiasi di setiap desa dan kampung tanah Bima. Pusat-pusat pengajaran Islam tidak hanya berkembang melalui pesantren, bahkan berkembang dari rumah ke rumah, terbukti dengan menjamurnya tempat pengajian di rumah-rumah yang menggema dan melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran di setiap sore dan malam hari.
Pada masa kesultanan juga diperlakukan aturan yang bersendikan hukum Islam dengan mendirikan Badan Hukum Syara atau Mahkamah Tussara’iyah, yang mengirim pemuda-pemuda Bima untuk belajar memperdalam kaidah dan pengetahuan Islam ke Mekkah, Mesir, Istamul dan Bagdad serta negara-negara Arab lainnya. Bahkan telah diusahakan tanah wakaf di Mekkah untuk menjamu jamaah calon haji Dou Mbojo yang selalu membanjir setiap tahunnya untuk menunaikan ibadah haji.
Demikian dua model variasi masyarakat Bima yang kita lihat dan kenal sekarang. Meski demikian, pada perkembangan-perkembangan terakhir sebagaimana kenyataan yang dihadapi masyarakat Indonesia umumnya dengan semakin cepatnya arus modernisasi, kenyataan tersebut secara perlahan mengalami perubahan. Berbagai perubahan tersebut semakin memberi warna, baik putih maupun hitam, dalam beragam kehidupan dan keseharian masyarakat Bima.
Sebagai penutup, yang kita harapkan bersama semoga masyarakat Bima tetap memegang teguh pada nilai-nilai kearifan yang sudah tertanam sejak nenek moyang mereka, dan benar-benar menghayati serta mengamalkan petuah “Maja Labo Dahu, Nggahi Rawi Pahu” dan petuah-petuah lainnya kapan dan di manapun mereka berada.
Jumat, 08 April 2011
Rabu, 06 April 2011
Kamis, 27 Januari 2011
Alunan Gendang yang Nyaris Hilang
ketika aku masih kecil sebelum tidur hampir setiap malam terdengar merdu gesekan biola mendayu-dayu mengiringi bait-bait syair lagu daerah Bima, yang didaerahku disebut ’rawa mbojo’. Aku dan adikku apabila satu malam tidak mendengar alunan lagu-lagu Bima itu pasti akan bertanya-tanya pada ibuku mengapa tidak ada orang yang nyanyi. Jawaban ibuku dari malam ke malam sama saja karena hari itu tidak ada keluarga yang menikah. Aku juga masih ingat benar tiap kali ada tetangga, bahkan tetangga desa yang sunatan anak kecil bersama teman-temanku, Yati, Anis, Ainun, Jumrah, Mifta dan Ayu sepulang sekolah rame-rame nonton atraksi ’gentao’ yaitu sebuah tarian tradisional yang diiringi dengan seperangkat musik tradisional. Aduh, indah luar biasa.
Masih juga segar dalam ingatanku ketika sesekali diajak ibu ke pasar yang paling menarik perhatianku adalah cara berpakaian ibu-ibu bahkan juga gadis-gadis Bima di pasar, termasuk ibuku waktu itu. Mereka mengenakan kain sarung yang dililitkan di kepala terus sampai kebawah menutupi seluruh badan. Aku paling suka memperhatikan aneka ragam warna-warni kain sarung yang dikenakan ibu-ibu itu. Pakaian seperti itu dinamakan ’rimpu’.
Tiga khasanah budaya, kekayaan budaya yang sepuluh tahun lalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Bima saat ini nyaris punah. Aku masih beruntung paling tidak dalam setahun sekali Pemerintah Daerah kabupaten Bima ’berbaik hati’ menyelenggarakan pawai budaya tahunan yang diantaranya menampilkan tiga kekayaan budaya tersebut. Atraksi ’gentao’, ’rawa mbojo’, dan ’rimpu’ saat ini menjadi hal yang langka, asing di tengah masyarakatnya sendiri. Yang lebih menyedihkan lagi salah satu teman SMA-ku ketika melihat iring-iringan dalam pawai tersebut berkomentar: ”Nurul, Nurul lihat, asyik banget tuh… orang yang lagi menari, nyanyi, pake pakaian sarung, apa itu namanya Rul?”. Sambil tersayat perasaanku aku menerangkan pada temanku satu persatu item-item budaya tersebut.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ adalah simbol jati diri orang Bima. ’rawa mbojo’, lantunan syair-syair Bima yang dikemas dalam lagu yang diiringi biola adalah pentas seni yang unik. Si penyanyi bisa semalam suntuk melantunkan lagu-lagu. Demikian pula penonton semalam suntuk menikmati lantunan lagu-lagu tersebut. Bahkan penontonpun bisa turut serta menyanyi dan berbalas lagu dengan penyanyinya. Hal yang luar biasa disini dibutuhkan kemampuan berimprofisasi si penyanyi dalam menyusun lagu-lagunya. Selain ada lagu-lagu daerah yang baku, dalam pentas ’rawa mbojo’ lagu-lagu bisa berkembang sesuai dengan keadaan saat itu. Suasana, warna pakaian, dan lain-lain menjadi obyek improfisasi penyusunan bait-bait syair lagu. Pentas ’rawa mbojo’ menjadi sangat dinamis dan kreatif. Para penikmat ’rawa mbojo’ dapat hanyut dalam gelak tawa ataupun larut dalam kesedihan sesuai kemampuan improfisasi penyanyinya. Penggesek biola juga harus orang yang benar-benar piawai, karena dia harus mampu mengiringi apapun lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi dan juga mengikuti selera penonton.
Tari gentao yang dalam bahasa Bima ‘mpa’a gentao’, merupakan atraksi tari yang diiringi alunan gendang, terompet khas Bima yang terbuat dari daun lontar dan beberapa pengakat gamelan. Tarian ini aslinya ditampilkan mengirinngi acara sunatan. Tarian ‘gentao’ juga membutuhkan improfisasi oleh pengiring, khususnya penabuh gendang dan penari. Penari gentao ini boleh siapa saja khususnya penonton. Tarian ini merupakan simbol kejantanan, keperkasaan orang Bima. Para penari melakukan tarian dengan ‘bersparing’ satu-lawan satu. Penari harus mahir dalam seni bela diri, karena tariannya adalah menggambarkan pertarungan para kesatria Bima yang tersebar di seluruh pelosok Bima. Penonton, penari, penabuh gendang dan peniup terompet meskipun mereka mungkin tidak saling mengenal bisa hanyut dalam harmoni indahnya ‘mpa’a gentao’.
‘Rimpu’ pakaian khas tradisional Bima, hanya ada di Bima dan Dompu. Pakaian yang dikenakan berupa sarung yang ditenun oleh tangan-tangan terampil wanita Bima baik yang masih gadis maupun yang telah berumah tangga. Aslinya, para wanita bima menggunakan pakaian ini untuk ke pasar, acara keluarga, menjenguk keluarga yang berduka baik sakit maupun meninggal dunia dan kegiatan-kegiatan lainnya.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’, merupakan contoh kekayaan budaya. Didalamnya mengandung kearifan lokal yang sesungguhnya bagian dari kearifan Nasional yang apabila ditelaah lebih mendalam mengandung makna yang luar biasa sebagai cerminan dinamika masyarakat dalam upaya ‘survive’ mempertahankan dirinya dalam kancah kehidupan sebagai bagian dari sebuah bangsa. ‘Rawa Mbojo’ lagu Bima didalamnya mengandung petuah, nasehat bagaimana agar tercipta harmoni dalam kehidupan. Dalam pentas ‘rawa mbojo’ juga tercipta komunikasi spotan, tulus dan apa adanya antara penyanyi dan penonton yang mengajarkan kepada kita bahwa dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara perlu adanya komunikasi yang tulus, saling menghargai, demokratis.
‘Mpa’a gentao’ merupakan tarian bela diri masyarakat, mengajarkan kepada kita bahwa sebagai individu, masyarakat harus memiliki badan, jiwa yang sehat dan kuat yang setiap saat siap membela tanah air. Namun demikian kekuatan, tidak digunakan sembarangan melainkan sesuai kebutuhan. Maka dalam ’gentao’ penari boleh siapa saja, demikian pula lawan tanding tidak ditentukan. Satu hal yang perlu diperhatikan si penari bahwa dalam bertanding harus mengikuti iringan musik, gendang yang menyertainya dan tidak boleh mencederai lawan. Akhir dari ’gentao’ ini adalah terciptanya komunikasi yang harmonis antar warga, antar masyarakat.
Busana tradisional ’rimpu’ dimana wanita pemakainya melilitkan sarung Bima di kepala, dan menutup seluruh anggota badan kecuali muka sampai dibawah lutut mengajarkan kepada kita bahwa dalam berbusana harus mempertimbangkan norma khususnya norma agama, estetika dan etika. ’Rimpu’ juga mengajarkan bahwa kita harus mampu mandiri, menenun pakaiannya sendiri, mencintai dan bangga hasil karya sendiri. Artinya, para pendahulu kita telah mewariskan ’rimpu’ bukan sekedar sebagai busana tetapi juga jauh depan perlu memiliki produk unggulan lokal dalam hal ini adalah tenun ikat Bima.
’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ dari contoh tiga item khasanah budaya diatas terdapat satu kesamaan yakni didalamnya mengandung unsur inovasi, kreativitas. Memang benar bahwa ada lagu-lagu Bima yang sudah ’baku’, tetapi masyarakat, siapa saja boleh mengarang lagu sendiri dan mendendangkannya, bahkan spontan pada saat pentas berlangsung sesuai kondisi saat itu. Artinya agar budaya tersebut bisa lestari diberi ruang gerak yang luas untuk dikembangkan oleh masyarakat sesuai jamannya. ’Gentao’ juga telah memiliki gerakan standar tertentu yang khas Bima, akan tetapi setiap saat masyarakat boleh mengembangkan, berimprovisasi dengan ’cengkok’ masing-masing sesuai jamannya. Demikian pula tenun ikat tradisional Bima memberi peluang seluas-luasnya untuk dikembangkan tanpa harus meninggalkan ciri khasnya. Sehingga kain tenun Bima terus berkembang dan dalam periode tertentu mengalami dinamika, tren yang sangat dinamis.
Persoalannya adalah mutiara-mutiara khasanah budaya tersebut saat ini nyaris punah, terlantar dan terabaikan. ’Rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’ yang sudah tidak lagi menjadi bagian sehari-hari masyarakat Bima, karena tergusur era globalisasi dengan ndangdut, sepak bola dan pakaian ketat. Acara-acara pernikahan sudah didominasi dengan hiburan orgen tunggal. Pakaian ’rimpu’ sudah langka dikenakan oleh remaja puteri kita. Kalau hal ini ’di-cuekin’ tidak ada yang peduli maka dikhawatirkan lima sampai sepuluh tahun kedepan generasi muda Bima harus ke Taman Mini Indonesia Indah anjungan NTB untuk dapat mengenal yang namanya ’rawa mbojo’, ’gentao’ dan ’rimpu’.
Mumpung belum benar-benar punah, sesungguhnya masih ada waktu untuk melestarikan budaya tersebut. Menurutku hal yang paling penting adalah perlunya menumbuhkan kesadaran kepada seluruh masyarakat akan arti pentingnya budaya lokal sebagai penopang budaya Nasional. Jalan yang dapat ditempuh untuk proses penyadaran tersebut tidak ada lain kecuali melalui jalur pendidikan. Pendidikan pelestarian budaya perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi. Sejak dini generasi muda perlu diperkenalkan dengan kearifan budaya termasuk budaya lokal, dilanjutkan terus sampai di perguruan tinggi secara terus menerus dan berkesinambungan. Tujuannya adalah agar nilai-nilai budaya tersebut secara harmonis terinternalisasi dalam diri siswa, menjadi bagian dari kehidupan mereka. Pendidikan pelestarian budaya tidak hanya dalam bentuk teori semata-mata, yang lebih penting adalah praktek. Sehingga penilaiannya bukan dari hasil ulangan saja, tetapi dari sejauh mana siswa mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Aku khawatir jangan-jangan ’proses punahnya kekayaan budaya’ yang terjadi di daerahku terjadi pula di daerah lain. Aku juga khawatir jangan-jangan merebaknya korupsi, perkelahian massal, anarkisme, ricuh yang sering dipertontonkan para anggota dewan itu juga karena telah tercerabutnya kita dari akar budaya serta nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya sehingga kita secara kultural menjadi ’asing’ di negeri sendiri.
Sudah saatnya kita melakukan gerakan ’sadar budaya’, salah satunya melalui Pendidikan Pelestarian Budaya agar kita, generasi penerus bangsa menjadi generasi yang memiliki jati diri, mampu ’survive’ di tengah gelombang arus globalisasi. Generasi berkarakter seperti yang terkandung dalam ’rawa mbojo’ yakni arif bijaksana, santun, jujur, tulus, dinamis, kreatif, komunikatif. Begitu juga yang termuat dalam ’mpa’a gentao’ tari gentao: cerdas, terampil, kuat, tangguh, pantang menyerah, demokratis, lentur serta yang tersimpan dari pakaian ’rimpu’ mandiri, sopan, etis dan punya nilai estetika tinggi.
Dari: http://sosbud.kompasiana.com
Sejarah Kerajaan Bima
MULA – MULA Kerajaan Bima telah menjadi legenda sejak Sang Jin Jan Wa Manjan sampai ke masa menjelang kedatangan Sang Bima yang melakukan pemahatan situs Wadu Pa’a banyak mempunyai keunikan secara langsung mempengaruhi keberadaan tanah Bima dan masyarakat Mbojo yang penuh ramah tamah dan keuletan yang bibarengi dengan prinsip hidup yang keras dan berpandangan luas serta bertatakrama yang tinggi. Masa sebelum ada penguasa di tanah Bima, yang walaupun berkelompok adanya, Tanah Bima merupakan suatu wilayah yang menjadi tempat terdamparnya suku pencari wilayah penyebaran yang berasal dari dataran Asia Tenggara yakni suku Dongsong dari Yunan (Vietnam).
Mereka semula mendarat di pesisir utara Pulau Sumbawa (Bima) di desa yang sekarang namanya Sapunggu (Sam Mpung Ngun) menyebar ke Utara, Barat, Timur dan Selatan Negeri. Mereka hidup berkelompok dan membetuk marga sendiri-sendiri yang merupakan kelompok awal penduduk Bima.
Setelah lama mereka hidup berkelompok dalam naungan pemerintahan versi dan adat masa itu, sampailah pada pencarian cara berpemerintahan yang baik dan berdirinya Kerajaan Bima yang diperkirakan terjadi tidak berapa lama setelah Situs Wadu Pa’a. Diperkirakan terjadi + 750 M.
ASAL MULA KERAJAAN BIMA
Raja Pertama Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga.
Raja ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan dan sebagainya.
Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri).
PUNCAK KEJAYAAN KERAJAAN BIMA
Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
TITIK KEMUNDURAN KERAJAAN BIMA (MASA PERALIHAN)
Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek (kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka. Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera.
Meski demikian, Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah.
Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka Salisi dapat dihancurkan.
MENUJU SISTEM PEMERINTAHAN KESULTANAN
Setelah berjuang dan banyak membawa korban suhadah dan dengan bantuan Kerajaan Makasar, Gowa, Tallo, dan sebagainya, Salisi dapat dihancurkan dengan kekuasaan kembali pada pewarisnya yang segera berubah menjadi sistem pemerintahan yang bernafaskan Islam, yakni tata dan sistem pemerintahan Kesultanan. Mulailah Bima menjadi Kerajaan Islam yang dengan persetujuan Hadat Tanah Bima serta dengan dukungan segenap rakyat dan masyarakat Bima melantik dan menobatkan La Kai (Jena Teka) yang setelah masuk Islam bernama Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Tanah Bima dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu, yang dibantu oleh Tureli Nggampo La Mbila (Jalaludin) dan perangkat lainnya. Munculnya pemerintahan yang penuh dengan sinar Islam yang juga tidak melupakan tata adat leluhurnya terdahulu.
BERPEDOMAN PADA FALSAFAH “MAJA LABO DAHU”
Naka, Ncuhi, Raja dan Sultan selalu berpedoman pada falsafah “MAJA LABO DAHU” (malu dan takut) yang mengandung pengertian bahwa “mereka akan takut dan malu pada dirinya sendiri, kepada masyarakat, terutama pada Tuhan apabila melaksanakan kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan asas musyawarah dan karawi kaboju yang dijiwai oleh ajaran agama dan adat Islam”.
Maja Labo Dahu merupakan falsafah kehidupan yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan seluruh masyarakat.
Nilai-nilai luhur yang bersumber dari Maja Labo Dahu ialah : (1) Tohompara nahu sura dou labo danana; (2) Edera Nahu sura dou Marimpa; (3) Renta ba rera, kapoda ba ade karawi ba weki; (4) Nggahi Rawi Pahu.
Keempat nilai luhur dari Maja Labo Dahu tersebut di atas pada hakekatnya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sangaji dan rakyat harus melaksanakan falsafah secara utuh dan konsekuen.
“Toha Mpara nahu sura labo dana” yang berarti “biarkan aku menderita asalkan demi rakyat dan negara”. Falsafah tersebut mampu mengobarkan semangat pengabdian rakyat terhadap Kesultanan Bima sampai pada pelaksana pemerintah.
Penerapan falsafah berikut, yakni “Edera nahu sura dou marimpa”, yang berarti “saya (Sultan) tidak penting (bukan yang utama), yang utama dan penting adalah masyarakat secara keseluruhan”. Falsafah ini pada hakekatnya mewajibkan sultan untuk memperhatikan kepentingan rakyat banyak tanpa mempedulikan kepentingan pribadi atau golongannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari para Raja, Sultan dan seluruh masyarakat harus berpedoman pada nilai-nilai luhur “Nggahi Rawi Pahu” yang mengandung pengertian bahwa apa yang telah diikrarkan harus dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Mereka secara konsekuen melakukan tugas, agar mampu mewujudkan tujuan yang telah disepakati. Bila gagal berarti ada di antara mereka yang melanggar nilai falsafah “Renta ba rera kapoda ba ade karawi ba weki” yang berarti “yang telah diikrarkan oleh lidah yang bersumber dari hati nurani, harus mampu dikerjakan dan dilaksanakan oleh raga dan jasmani”.
AKHIRAN
Jika kita cermati secara seksama, ternyata falsafah Pancasila belum ada apa-apanya dibanding pengabdian dan penerapan falsafah Maja Labo Dahu tersebut di masa silam, bahkan kelahiran falsafah Maja Labo Dahu tersebut lebih dulu dan jauh melampaui dibanding masa kelahiran falsafah Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Falsafah tersebut telah mengejewantah dan telah menjadi nilai-nilai luhur yang menjadi dasar pemerintahan pada masa lalu, yang wajib diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata masyarakat Bima hingga saat ini. Kesuksesan dan kejayaan yang berhasil dirangkul Kesultanan Bima di masa lalu merupakan buah nyata penerapan falsafah tersebut, terutama dalam mengimbangi, menyaingi, dan mengungguli kerajaan-kerajaan lain di seluruh negeri. Berkat penerapan falsafah tersebut pula, kompeni Belanda berhasil diusir dari tanah Bima untuk selamanya
Mereka semula mendarat di pesisir utara Pulau Sumbawa (Bima) di desa yang sekarang namanya Sapunggu (Sam Mpung Ngun) menyebar ke Utara, Barat, Timur dan Selatan Negeri. Mereka hidup berkelompok dan membetuk marga sendiri-sendiri yang merupakan kelompok awal penduduk Bima.
Setelah lama mereka hidup berkelompok dalam naungan pemerintahan versi dan adat masa itu, sampailah pada pencarian cara berpemerintahan yang baik dan berdirinya Kerajaan Bima yang diperkirakan terjadi tidak berapa lama setelah Situs Wadu Pa’a. Diperkirakan terjadi + 750 M.
ASAL MULA KERAJAAN BIMA
Raja Pertama Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga.
Raja ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan dan sebagainya.
Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri).
PUNCAK KEJAYAAN KERAJAAN BIMA
Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
TITIK KEMUNDURAN KERAJAAN BIMA (MASA PERALIHAN)
Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek (kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka. Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera.
Meski demikian, Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah.
Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka Salisi dapat dihancurkan.
MENUJU SISTEM PEMERINTAHAN KESULTANAN
Setelah berjuang dan banyak membawa korban suhadah dan dengan bantuan Kerajaan Makasar, Gowa, Tallo, dan sebagainya, Salisi dapat dihancurkan dengan kekuasaan kembali pada pewarisnya yang segera berubah menjadi sistem pemerintahan yang bernafaskan Islam, yakni tata dan sistem pemerintahan Kesultanan. Mulailah Bima menjadi Kerajaan Islam yang dengan persetujuan Hadat Tanah Bima serta dengan dukungan segenap rakyat dan masyarakat Bima melantik dan menobatkan La Kai (Jena Teka) yang setelah masuk Islam bernama Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Tanah Bima dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu, yang dibantu oleh Tureli Nggampo La Mbila (Jalaludin) dan perangkat lainnya. Munculnya pemerintahan yang penuh dengan sinar Islam yang juga tidak melupakan tata adat leluhurnya terdahulu.
BERPEDOMAN PADA FALSAFAH “MAJA LABO DAHU”
Naka, Ncuhi, Raja dan Sultan selalu berpedoman pada falsafah “MAJA LABO DAHU” (malu dan takut) yang mengandung pengertian bahwa “mereka akan takut dan malu pada dirinya sendiri, kepada masyarakat, terutama pada Tuhan apabila melaksanakan kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan asas musyawarah dan karawi kaboju yang dijiwai oleh ajaran agama dan adat Islam”.
Maja Labo Dahu merupakan falsafah kehidupan yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan seluruh masyarakat.
Nilai-nilai luhur yang bersumber dari Maja Labo Dahu ialah : (1) Tohompara nahu sura dou labo danana; (2) Edera Nahu sura dou Marimpa; (3) Renta ba rera, kapoda ba ade karawi ba weki; (4) Nggahi Rawi Pahu.
Keempat nilai luhur dari Maja Labo Dahu tersebut di atas pada hakekatnya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sangaji dan rakyat harus melaksanakan falsafah secara utuh dan konsekuen.
“Toha Mpara nahu sura labo dana” yang berarti “biarkan aku menderita asalkan demi rakyat dan negara”. Falsafah tersebut mampu mengobarkan semangat pengabdian rakyat terhadap Kesultanan Bima sampai pada pelaksana pemerintah.
Penerapan falsafah berikut, yakni “Edera nahu sura dou marimpa”, yang berarti “saya (Sultan) tidak penting (bukan yang utama), yang utama dan penting adalah masyarakat secara keseluruhan”. Falsafah ini pada hakekatnya mewajibkan sultan untuk memperhatikan kepentingan rakyat banyak tanpa mempedulikan kepentingan pribadi atau golongannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari para Raja, Sultan dan seluruh masyarakat harus berpedoman pada nilai-nilai luhur “Nggahi Rawi Pahu” yang mengandung pengertian bahwa apa yang telah diikrarkan harus dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Mereka secara konsekuen melakukan tugas, agar mampu mewujudkan tujuan yang telah disepakati. Bila gagal berarti ada di antara mereka yang melanggar nilai falsafah “Renta ba rera kapoda ba ade karawi ba weki” yang berarti “yang telah diikrarkan oleh lidah yang bersumber dari hati nurani, harus mampu dikerjakan dan dilaksanakan oleh raga dan jasmani”.
AKHIRAN
Jika kita cermati secara seksama, ternyata falsafah Pancasila belum ada apa-apanya dibanding pengabdian dan penerapan falsafah Maja Labo Dahu tersebut di masa silam, bahkan kelahiran falsafah Maja Labo Dahu tersebut lebih dulu dan jauh melampaui dibanding masa kelahiran falsafah Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Falsafah tersebut telah mengejewantah dan telah menjadi nilai-nilai luhur yang menjadi dasar pemerintahan pada masa lalu, yang wajib diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata masyarakat Bima hingga saat ini. Kesuksesan dan kejayaan yang berhasil dirangkul Kesultanan Bima di masa lalu merupakan buah nyata penerapan falsafah tersebut, terutama dalam mengimbangi, menyaingi, dan mengungguli kerajaan-kerajaan lain di seluruh negeri. Berkat penerapan falsafah tersebut pula, kompeni Belanda berhasil diusir dari tanah Bima untuk selamanya
Selasa, 25 Januari 2011
SEJARAH AWAL BIMA
MULA – MULA Kerajaan Bima telah menjadi legenda sejak Sang Jin Jan Wa Manjan sampai ke masa menjelang kedatangan Sang Bima yang melakukan pemahatan situs Wadu Pa’a banyak mempunyai keunikan secara langsung mempengaruhi keberadaan tanah Bima dan masyarakat Mbojo yang penuh ramah tamah dan keuletan yang bibarengi dengan prinsip hidup yang keras dan berpandangan luas serta bertatakrama yang tinggi. Masa sebelum ada penguasa di tanah Bima, yang walaupun berkelompok adanya, Tanah Bima merupakan suatu wilayah yang menjadi tempat terdamparnya suku pencari wilayah penyebaran yang berasal dari dataran Asia Tenggara yakni suku Dongsong dari Yunan (Vietnam).
Mereka semula mendarat di pesisir utara Pulau Sumbawa (Bima) di desa yang sekarang namanya Sapunggu (Sam Mpung Ngun) menyebar ke Utara, Barat, Timur dan Selatan Negeri. Mereka hidup berkelompok dan membetuk marga sendiri-sendiri yang merupakan kelompok awal penduduk Bima.
Setelah lama mereka hidup berkelompok dalam naungan pemerintahan versi dan adat masa itu, sampailah pada pencarian cara berpemerintahan yang baik dan berdirinya Kerajaan Bima yang diperkirakan terjadi tidak berapa lama setelah Situs Wadu Pa’a. Diperkirakan terjadi + 750 M.
ASAL MULA KERAJAAN BIMA
Raja Pertama Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga.
Raja ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan dan sebagainya.
Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri).
PUNCAK KEJAYAAN KERAJAAN BIMA
Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
TITIK KEMUNDURAN KERAJAAN BIMA (MASA PERALIHAN)
Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek (kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka. Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera.
Meski demikian, Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah.
Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka Salisi dapat dihancurkan.
MENUJU SISTEM PEMERINTAHAN KESULTANAN
Setelah berjuang dan banyak membawa korban suhadah dan dengan bantuan Kerajaan Makasar, Gowa, Tallo, dan sebagainya, Salisi dapat dihancurkan dengan kekuasaan kembali pada pewarisnya yang segera berubah menjadi sistem pemerintahan yang bernafaskan Islam, yakni tata dan sistem pemerintahan Kesultanan. Mulailah Bima menjadi Kerajaan Islam yang dengan persetujuan Hadat Tanah Bima serta dengan dukungan segenap rakyat dan masyarakat Bima melantik dan menobatkan La Kai (Jena Teka) yang setelah masuk Islam bernama Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Tanah Bima dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu, yang dibantu oleh Tureli Nggampo La Mbila (Jalaludin) dan perangkat lainnya. Munculnya pemerintahan yang penuh dengan sinar Islam yang juga tidak melupakan tata adat leluhurnya terdahulu.
BERPEDOMAN PADA FALSAFAH “MAJA LABO DAHU”
Naka, Ncuhi, Raja dan Sultan selalu berpedoman pada falsafah “MAJA LABO DAHU” (malu dan takut) yang mengandung pengertian bahwa “mereka akan takut dan malu pada dirinya sendiri, kepada masyarakat, terutama pada Tuhan apabila melaksanakan kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan asas musyawarah dan karawi kaboju yang dijiwai oleh ajaran agama dan adat Islam”.
Maja Labo Dahu merupakan falsafah kehidupan yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan seluruh masyarakat.
Nilai-nilai luhur yang bersumber dari Maja Labo Dahu ialah : (1) Tohompara nahu sura dou labo danana; (2) Edera Nahu sura dou Marimpa; (3) Renta ba rera, kapoda ba ade karawi ba weki; (4) Nggahi Rawi Pahu.
Keempat nilai luhur dari Maja Labo Dahu tersebut di atas pada hakekatnya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sangaji dan rakyat harus melaksanakan falsafah secara utuh dan konsekuen.
“Toha Mpara nahu sura labo dana” yang berarti “biarkan aku menderita asalkan demi rakyat dan negara”. Falsafah tersebut mampu mengobarkan semangat pengabdian rakyat terhadap Kesultanan Bima sampai pada pelaksana pemerintah.
Penerapan falsafah berikut, yakni “Edera nahu sura dou marimpa”, yang berarti “saya (Sultan) tidak penting (bukan yang utama), yang utama dan penting adalah masyarakat secara keseluruhan”. Falsafah ini pada hakekatnya mewajibkan sultan untuk memperhatikan kepentingan rakyat banyak tanpa mempedulikan kepentingan pribadi atau golongannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari para Raja, Sultan dan seluruh masyarakat harus berpedoman pada nilai-nilai luhur “Nggahi Rawi Pahu” yang mengandung pengertian bahwa apa yang telah diikrarkan harus dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Mereka secara konsekuen melakukan tugas, agar mampu mewujudkan tujuan yang telah disepakati. Bila gagal berarti ada di antara mereka yang melanggar nilai falsafah “Renta ba rera kapoda ba ade karawi ba weki” yang berarti “yang telah diikrarkan oleh lidah yang bersumber dari hati nurani, harus mampu dikerjakan dan dilaksanakan oleh raga dan jasmani”.
AKHIRAN
Jika kita cermati secara seksama, ternyata falsafah Pancasila belum ada apa-apanya dibanding pengabdian dan penerapan falsafah Maja Labo Dahu tersebut di masa silam, bahkan kelahiran falsafah Maja Labo Dahu tersebut lebih dulu dan jauh melampaui dibanding masa kelahiran falsafah Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Falsafah tersebut telah mengejewantah dan telah menjadi nilai-nilai luhur yang menjadi dasar pemerintahan pada masa lalu, yang wajib diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata masyarakat Bima hingga saat ini. Kesuksesan dan kejayaan yang berhasil dirangkul Kesultanan Bima di masa lalu merupakan buah nyata penerapan falsafah tersebut, terutama dalam mengimbangi, menyaingi, dan mengungguli kerajaan-kerajaan lain di seluruh negeri. Berkat penerapan falsafah tersebut pula, kompeni Belanda berhasil diusir dari tanah Bima untuk selamanya
Mereka semula mendarat di pesisir utara Pulau Sumbawa (Bima) di desa yang sekarang namanya Sapunggu (Sam Mpung Ngun) menyebar ke Utara, Barat, Timur dan Selatan Negeri. Mereka hidup berkelompok dan membetuk marga sendiri-sendiri yang merupakan kelompok awal penduduk Bima.
Setelah lama mereka hidup berkelompok dalam naungan pemerintahan versi dan adat masa itu, sampailah pada pencarian cara berpemerintahan yang baik dan berdirinya Kerajaan Bima yang diperkirakan terjadi tidak berapa lama setelah Situs Wadu Pa’a. Diperkirakan terjadi + 750 M.
ASAL MULA KERAJAAN BIMA
Raja Pertama Kerajaan Bima adalah Indra Zamrud yang seterusnya sebagaimana Silsilah “BO” Nuntu Mantoi sehingga sampai kepada masa Raja (Sangaji) Ma Wa’a Paju Longge yang mempunyai hubungan luas dengan kerajaan-kerajaan lainnya di wilayah Nusantara, seperti Banten, Aceh, Kutai, Makassar (Tallo), Gowa, Bugis, Ternate dan Jailolo serta masih banyak lagi yang lainnya, terutama dalam status dan keberadaannya sebagai tempat persinggahan dan pengambilan barang dagangan perahu-perahu niaga.
Raja ini banyak mengirim keluar saudara-saudaranya untuk belajar dan mencari ilmu termasuk di antaranya adik-adiknya yang bernama Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo yang dikirim ke kerajaan Gowa dan Tallo. Sekembalinya ke Bima, mereka membawa banyak perubahan dan kemajuan untuk tanah dan masyarakat Bima. Seperti dalam hal tata pemerintahan dan pengetahuan dalam bidang pertanian dan kemasyarakatan serta pertukangan dan sebagainya.
Setelah dilantiknya Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja dan Manggampo Donggo sebagai Perdana Menteri, memang ada sedikit kelemahan karena karir keduanya tidak sesuai dengan kedudukan dan jabatannya sehingga terjadi saling pertukaran jabatan antara keduanya dengan penuh permusyawaratan dan permufakatan. Manggampo Donggo diserahkan tugas sebagai Raja oleh kakaknya Ma Wa’a Bilmana dan sebaliknya Ma Wa’a Bilmana menjadi pengatur dan pelaksanaan pemerintahan sebagai Mangku Bumi/Turelli Nggampo (Perdana Menteri).
PUNCAK KEJAYAAN KERAJAAN BIMA
Pemerintahan berjalan lancar dan kerajaan Bima semakin tersohor dengan dibantu oleh putera-putera mereka yang bernama Ma Wa’a Ndapa dan Ma Wa’a Pili Tuta, Ruma Me’e (Putera Manggampo Donggo) serta La Mbila I yang terkenal dengan gelar Ruma Makapiri Solor dan Rato Ara sebagai ahli agama (Putera Ma Wa’a Bilmana). Namun ketenaran kerajaan ini tidaklah begitu mulus jalannya untuk kerajaan Bima, karena setelah berakhirnya Pemerintahan Sangaji Ma Wa’a Ndapa, terjadi suatu perebutan kekuasaan antara putera-puteranya.
TITIK KEMUNDURAN KERAJAAN BIMA (MASA PERALIHAN)
Puteranya bernama Salisi Mantau Asi Peka berkhianat dan membunuh saudara-saudaranya karena ingin merebut puncak pemerintahan. Salisi yang merupakan anak gundik dari Sangaji Ma Wa’a Ndapa menurut keturunan garis lurus sebagaimana bunyi sumpah yang telah diikrarkan oleh nenek-nenek (kakek-kakek)-nya dengan sumpah Ma Wa’a Bilmana dan Manggampo Donggo sewaktu pengalihan wewenang dan kekuasaan, selama masih ada saudara-saudaranya yang berdasarkan keturunan garis lurus sebagai Pewaris kerajaan, tidak berhak menjadi raja dan ini sudah merupakan tata hadat tanah Bima yang wajib ditaati dan dilaksanaka. Saudara-saudaranya bernama Samara, Sarise dan La Sawo dibunuh dan diracun oleh Salisi, serta kaki tangannya. Yang lebih sadis lagi, Jena Teke (Raja Muda) putera dari raja Samara dibakar di Wera, yang terkenal dengan adanya Jena Teke yang dibakar di Mpori Wera.
Meski demikian, Salisi masih belum aman karena disamping hadat tanah Bima tidak merestui dan para Nuchi yang masih ada dan besar pengaruhnya pada masyarakat dan rakyat Bima, yang merupakan masalah dan ganjalan yang besar masih adanya Pewaris Kerajaan Putera dari La Sawo yang bernama La Kai yang didukung oleh putera-putera La Mbila yang bernama Ama Lima Ma Dai yang menjadi Tureli Nggampo saat itu dan Rato Waro Bewi yang menjadi Rato Renda, yang secara gigih mempertahankan keberadaannya sebagai Pewaris kerajaan dan Pemerintahan yang syah.
Pewaris-pewaris kerajaan ini berusaha melarikan diri menyingkir ke pedalaman Teke dan selanjutnya ke Kalodu di mana rakyatnya masih patut dan taat pada pemerintahan yang syah. Mereka bermukim di sana sampai datangnya “Fajar Islam” yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari tanah Makassar, Gowa, Luwu dan Tallo di Sape. Setelah mereka menerima Islam di Sape dan dengan adanya sumpah di Dam Parapi yang juga merupakan Sumpah Darah Daging untuk tetap bersatu dan saling membantu sehidup semati dalam perjuangan membela kebenaran dan keadilan sampai saatnya pengangkara murka Salisi dapat dihancurkan.
MENUJU SISTEM PEMERINTAHAN KESULTANAN
Setelah berjuang dan banyak membawa korban suhadah dan dengan bantuan Kerajaan Makasar, Gowa, Tallo, dan sebagainya, Salisi dapat dihancurkan dengan kekuasaan kembali pada pewarisnya yang segera berubah menjadi sistem pemerintahan yang bernafaskan Islam, yakni tata dan sistem pemerintahan Kesultanan. Mulailah Bima menjadi Kerajaan Islam yang dengan persetujuan Hadat Tanah Bima serta dengan dukungan segenap rakyat dan masyarakat Bima melantik dan menobatkan La Kai (Jena Teka) yang setelah masuk Islam bernama Abdul Kahir menjadi Sultan pertama Tanah Bima dengan gelar Rumata Ma Bata Wadu, yang dibantu oleh Tureli Nggampo La Mbila (Jalaludin) dan perangkat lainnya. Munculnya pemerintahan yang penuh dengan sinar Islam yang juga tidak melupakan tata adat leluhurnya terdahulu.
BERPEDOMAN PADA FALSAFAH “MAJA LABO DAHU”
Naka, Ncuhi, Raja dan Sultan selalu berpedoman pada falsafah “MAJA LABO DAHU” (malu dan takut) yang mengandung pengertian bahwa “mereka akan takut dan malu pada dirinya sendiri, kepada masyarakat, terutama pada Tuhan apabila melaksanakan kebijaksanaan yang tidak sesuai dengan asas musyawarah dan karawi kaboju yang dijiwai oleh ajaran agama dan adat Islam”.
Maja Labo Dahu merupakan falsafah kehidupan yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijadikan pedoman oleh Pemerintah dan seluruh masyarakat.
Nilai-nilai luhur yang bersumber dari Maja Labo Dahu ialah : (1) Tohompara nahu sura dou labo danana; (2) Edera Nahu sura dou Marimpa; (3) Renta ba rera, kapoda ba ade karawi ba weki; (4) Nggahi Rawi Pahu.
Keempat nilai luhur dari Maja Labo Dahu tersebut di atas pada hakekatnya merupakan perpaduan yang tidak bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Sangaji dan rakyat harus melaksanakan falsafah secara utuh dan konsekuen.
“Toha Mpara nahu sura labo dana” yang berarti “biarkan aku menderita asalkan demi rakyat dan negara”. Falsafah tersebut mampu mengobarkan semangat pengabdian rakyat terhadap Kesultanan Bima sampai pada pelaksana pemerintah.
Penerapan falsafah berikut, yakni “Edera nahu sura dou marimpa”, yang berarti “saya (Sultan) tidak penting (bukan yang utama), yang utama dan penting adalah masyarakat secara keseluruhan”. Falsafah ini pada hakekatnya mewajibkan sultan untuk memperhatikan kepentingan rakyat banyak tanpa mempedulikan kepentingan pribadi atau golongannya. Dalam menjalankan tugas sehari-hari para Raja, Sultan dan seluruh masyarakat harus berpedoman pada nilai-nilai luhur “Nggahi Rawi Pahu” yang mengandung pengertian bahwa apa yang telah diikrarkan harus dapat diwujudkan menjadi kenyataan. Mereka secara konsekuen melakukan tugas, agar mampu mewujudkan tujuan yang telah disepakati. Bila gagal berarti ada di antara mereka yang melanggar nilai falsafah “Renta ba rera kapoda ba ade karawi ba weki” yang berarti “yang telah diikrarkan oleh lidah yang bersumber dari hati nurani, harus mampu dikerjakan dan dilaksanakan oleh raga dan jasmani”.
AKHIRAN
Jika kita cermati secara seksama, ternyata falsafah Pancasila belum ada apa-apanya dibanding pengabdian dan penerapan falsafah Maja Labo Dahu tersebut di masa silam, bahkan kelahiran falsafah Maja Labo Dahu tersebut lebih dulu dan jauh melampaui dibanding masa kelahiran falsafah Pancasila yang kita kenal sekarang ini. Falsafah tersebut telah mengejewantah dan telah menjadi nilai-nilai luhur yang menjadi dasar pemerintahan pada masa lalu, yang wajib diterapkan dan diamalkan dalam kehidupan nyata masyarakat Bima hingga saat ini. Kesuksesan dan kejayaan yang berhasil dirangkul Kesultanan Bima di masa lalu merupakan buah nyata penerapan falsafah tersebut, terutama dalam mengimbangi, menyaingi, dan mengungguli kerajaan-kerajaan lain di seluruh negeri. Berkat penerapan falsafah tersebut pula, kompeni Belanda berhasil diusir dari tanah Bima untuk selamanya
Sejarah Bima
Dari hasil penelitian sejarah, Kabupaten Bima berdiri pada tanggal 5 Juli 1640 M, ketika Sultan Abdul Kahir dinobatkan sebagai Sultan Bima I yang menjalankan Pemerintahan berdasarkan Syariat Islam. Peristiwa ini kemudian ditetapkan sebagai Hari Jadi Bima yang diperingati setiap tahun. Bukti-bukti sejarah kepurbakalaan yang ditemukan di Kabupaten Bima seperti Wadu Pa’a, Wadu Nocu, Wadu Tunti (batu bertulis) di dusun Padende Kecamatan Donggo menunjukkan bahwa daerah ini sudah lama dihuni manusia. Dalam sejarah kebudayaan penduduk Indonesia terbagi atas bangsa Melayu Purba dan bangsa Melayu baru. Demikian pula halnya dengan penduduk yang mendiami Daerah Kabupaten Bima, mereka yang menyebut dirinya Dou Mbojo, Dou Donggo yang mendiami kawasan pesisir pantai. Disamping penduduk asli, juga terdapat penduduk pendatang yang berasal dari Sulawesi Selatan, Jawa, Madura, Kalimantan, Nusa Tenggara Timur dan Maluku. Dalam sejarah Bima disebutkan bahwa kerajaan Bima dahulu terpecah –pecah dalam kelompok-kelompok kecil yang masing-masing dipimpin oleh Ncuhi. Ada lima Ncuhi yang menguasai lima wilayah yaitu : 1. Ncuhi Dara, memegang kekuasaan wilayah Bima Tengah 2. Ncuhi Parewa, memegang kekuasaan wilayah Bima Selatan 3. Ncuhi Padolo, memegang kekuasaan wilayah Bima Barat 4. Ncuhi Banggapupa, memegang kekuasaan wilayah Bima Utara 5. Ncuhi Dorowani, memegang kekuasaan wilayah Bima Timur. Kelima Ncuhi ini hidup berdampingan secara damai, saling hormat menghormati dan selalu mengadakan musyawarah mufakat bila ada sesuatu yang menyangkut kepentingan bersama. Dari kelima Ncuhi tersebut, yang bertindak selaku pemimpin dari Ncuhi lainnya adalah Ncuhi Dara. Pada masa-masa berikutnya, para Ncuhi ini dipersatukan oleh seorang utusan yang berasal dari Jawa. Menurut legenda yang dipercaya secara turun temurun oleh masyarakat Bima. Cikal bakal Kerajaan Bima adalah Maharaja Pandu Dewata yang mempunyai 5 orang putra yaitu : 1. Darmawangsa 2. Sang Bima 3. Sang Arjuna 4. Sang Kula 5. Sang Dewa. Salah seorang dari lima bersaudara ini yakni Sang Bima berlayar ke arah timur dan mendarat disebuah pulau kecil disebelah utara Kecamatan Sanggar yang bernama Satonda. Sang Bima inilah yang mempersatukan kelima Ncuhi dalam satu kerajaan yakni Kerajaan Bima, dan Sang Bima sebagai raja pertama bergelar Sangaji. Sejak saat itulah Bima menjadi sebuah kerajaan yang berdasarkan Hadat, dan saat itu pulalah Hadat Kerajaan Bima ditetapkan berlaku bagi seluruh rakyat tanpa kecuali. Hadat ini berlaku terus menerus dan mengalami perubahan pada masa pemerintahan raja Ma Wa’a Bilmana. Setelah menanamkan sendi-sendi dasar pemerintahan berdasarkan Hadat, Sang Bima meninggalkan Kerajaan Bima menuju timur, tahta kerajaan selanjutnya diserahkan kepada Ncuhi Dara hingga putra Sang Bima yang bernama Indra Zamrud sebagai pewaris tahta datang kembali ke Bima pada abad XIV/ XV. Beberapa perubahan Pemerintahan yang semula berdasarkan Hadat ketika pemerintahan Raja Ma Wa’a Bilmana adalah : - Istilah Tureli Nggampo diganti dengan istilah Raja Bicara. - Tahta Kerajaan yang seharusnya diduduki oleh garis lurus keturunan raja sempat diduduki oleh yang bukan garis lurus keturunan raja. Perubahan yang melanggar Hadat ini terjadi dengan diangkatnya adik kandung Raja Ma Wa’a Bilmana yaitu Manggampo Donggo yang menjabat Raja Bicara untuk menduduki tahta kerajaan. Pada saat pengukuhan Manggampo Donggo sebagai raja dilakukan dengan sumpah bahwa keturunannya tetap sebagai Raja sementara keturunan Raja Ma Wa’a Bilmana sebagai Raja Bicara. Kebijaksanaan ini dilakukan Raja Ma Wa’a Bilmana karena keadaan rakyat pada saat itu sangat memprihatinkan, kemiskinan merajalela, perampokan dimana-mana sehingga rakyat sangat menderita. Keadaan yang memprihatinkan ini hanya bisa di atasi oleh Raja Bicara. Akan tetapi karena berbagai kekacauan tersebut tidak mampu juga diatasi oleh Manggampo Donggo akhirnya tahta kerajaan kembali di ambil alih oleh Raja Ma Wa’a Bilmana. Kira-kira pada awal abad ke XVI Kerajaan Bima mendapat pengaruh Islam dengan raja pertamanya Sultan Abdul Kahir yang penobatannya tanggal 5 Juli tahun 1640 M. Pada masa ini susunan dan penyelenggaraan pemerintahan disesuaikan dengan tata pemerintahan Kerajaan Goa yang memberi pengaruh besar terhadap masuknya Agama Islam di Bima. Gelar Ncuhi diganti menjadi Galarang (Kepala Desa). Struktur Pemerintahan diganti berdasarkan Majelis Hadat yang terdiri atas unsur Hadat, unsur Sara dan Majelis Hukum yang mengemban tugas pelaksanaan hukum Islam. Dalam penyelenggaraan pemerintahan ini Sultan dibantu Oleh : 1. Majelis Tureli ( Dewan Menteri ) yang terdiri dari Tureli Bolo, Woha, Belo, Sakuru, Parado dan Tureli Donggo yang dipimpin oleh Tureli Nggampo/ Raja Bicara. 2. Majelis Hadat yang dikepalai oleh Kepala Hadat yang bergelar Bumi Lumah Rasa NaE dibantu oleh Bumi Lumah Bolo. Majelis Hadat ini beranggotakan 12 orang dan merupakan wakil rakyat yang menggantikan hak Ncuhi untuk mengangkat/ melantik atau memberhentikan Sultan. 3. Majelis Agama dikepalai oleh seorang Qadhi ( Imam Kerajaan ) yang beranggotakan 4 orang Khotib Pusat yang dibantu oleh 17 orang Lebe Na’E. Dikutip dari http://www.bimakab.go.id |
Legenda, City-State, dan Sang Bima
Menurut Kitab Bo’, kitab sejarah Kesultanan Bima, pada awalnya Bima terdiri dari beberapa daerah yang masing-masing diketuai oleh pemimpin yang disebut Ncuhi. Setiap daerah menamakan dirinya sebagai bagian dari Bima, meski pun pada kenyataannya tidak ada pemimpin tunggal yang menguasai kepemerintahan tanah Bima.
Hal ini mengingatkan saya pada sistem pemerintahan yang berkembang di Yunani, city-state. Bedanya, para Ncuhi tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan selalu berkumpul untuk memusyawarahkan apa saja yang dibutuhkan bagi perkembangan tanah Bima serta agar tidak terjadi perang saudara di antara daerah-daerah yang dipimpinnya.
Hingga satu ketika, menurut legenda yang tertulis dalam Kitab Bo’, datanglah seorang pengembara dari Jawa bernama Bima, seorang Pandawa yang melarikan diri dari pemberontakan di Majapahit ketika itu. Sang Bima pertama kali berlabuh di Pulau Satonda (silahkan googling tentang pulau ini. Anda akan tahu bagaimana indahnya) dan akhirnya menikah dengan seorang puteri di sekitar wilayah itu. Mengetahui akan hal ini, para Ncuhi akhirnya memutuskan untuk menawarkan posisi sebagai Raja Bima bagi Sang Bima. Sang Bima menerima, namun beliau tidak segera memimpin karena akan segera kembali ke Majapahit. Beliau kemudian menawarkan anaknya nanti yang akan memimpin Bima. Para Ncuhi menerima dan menanti kedatangan anak Sang Bima untuk memimpin mereka.
Kisah awal mula Bima sampai sekarang masih simpang siur, karena satu-satunya dokumen sejarah yang masih ada hanyalah Kitab Bo’, yang seperti kita-kitab lainnya dari zaman itu, penuh dengan percampuran legenda serta hal-hal gaib serta lebay untuk memberi kesan bahwa pemimpinnya adalah seorang yang hebat, sakti mandraguna. Namun menurut saya sendiri, Bima, sebagai salah satu wilayah kekuasaan Majapahit, tentu sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Jawa. Sebagai daerah yang mempunyai teluk teraman dan juga menjadi salah satu dari segitiga lumbung padi Indonsia Timur bersama Gowa dan Ternate, hubungan dagang dengan orang daerah lain sangatlah sering. Dalam hal budaya, khususnya bahasa yang digunakan saat itu, sangatlah mirip dengan bahasa Jawa Kuno.
Hal ini mengingatkan saya pada sistem pemerintahan yang berkembang di Yunani, city-state. Bedanya, para Ncuhi tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan selalu berkumpul untuk memusyawarahkan apa saja yang dibutuhkan bagi perkembangan tanah Bima serta agar tidak terjadi perang saudara di antara daerah-daerah yang dipimpinnya.
Hingga satu ketika, menurut legenda yang tertulis dalam Kitab Bo’, datanglah seorang pengembara dari Jawa bernama Bima, seorang Pandawa yang melarikan diri dari pemberontakan di Majapahit ketika itu. Sang Bima pertama kali berlabuh di Pulau Satonda (silahkan googling tentang pulau ini. Anda akan tahu bagaimana indahnya) dan akhirnya menikah dengan seorang puteri di sekitar wilayah itu. Mengetahui akan hal ini, para Ncuhi akhirnya memutuskan untuk menawarkan posisi sebagai Raja Bima bagi Sang Bima. Sang Bima menerima, namun beliau tidak segera memimpin karena akan segera kembali ke Majapahit. Beliau kemudian menawarkan anaknya nanti yang akan memimpin Bima. Para Ncuhi menerima dan menanti kedatangan anak Sang Bima untuk memimpin mereka.
Kisah awal mula Bima sampai sekarang masih simpang siur, karena satu-satunya dokumen sejarah yang masih ada hanyalah Kitab Bo’, yang seperti kita-kitab lainnya dari zaman itu, penuh dengan percampuran legenda serta hal-hal gaib serta lebay untuk memberi kesan bahwa pemimpinnya adalah seorang yang hebat, sakti mandraguna. Namun menurut saya sendiri, Bima, sebagai salah satu wilayah kekuasaan Majapahit, tentu sangat dekat hubungannya dengan orang-orang Jawa. Sebagai daerah yang mempunyai teluk teraman dan juga menjadi salah satu dari segitiga lumbung padi Indonsia Timur bersama Gowa dan Ternate, hubungan dagang dengan orang daerah lain sangatlah sering. Dalam hal budaya, khususnya bahasa yang digunakan saat itu, sangatlah mirip dengan bahasa Jawa Kuno.
Minggu, 23 Januari 2011
PERMAINAN TAPA GALA
PERMAINAN TUTU KALIKUMAMA
Di era tahun 70 an permainan rakyat ini masih dijumpai di kampung-kampung di wilayah Bima-Dompu. Dulu permainan ini biasa dimainkan oleh anak-anak mengisi waktu senggang atau saat-saat libur. Namun saat ini Tutu Kalikuma tinggal kenangan dan sangat jarang anak-anak Bima-Dompu yang memainkannya. Nama permainan ini diangkat dari nama judul lagu pengiring Mpa’a Tutu Kalikuma. Sejenis binatang laut yang rumahnya seperti keong. Permainan ini diberi nama Tutu Kalikuma karena kepalan tangan anak-anak (pemain) tersusun seperti Keong.
Tutu Kalikuma dimainkan oleh anak-anak perempuan berusia sekitar 6-12 tahun. Setiap pemain harus sudah hafal lagu dan dialog. Pada awal permainan, anak-anak duduk bersila, telapak tangan digenggam dengan posisi tersusun tegak lurus. Seorang pemimpin bernyanyi sambil memukul tumpukan kepalan tangan temannya. Pada setiap akhir lagu, genggaman yang dibawah dibuka. Bersamaan dengan itu terjadi dialog antara pemimpin dengan pemain dalam bentuk tanya jawab.
Selama permainan, anak-anak melantunkan lagu Tutu Kalikuma dengan syair sebagai berikut:
Tutu Kalikuma ma
Sa anggo ngo
Wai lele le
La jami mpako
Kadui ma mpiki
La hasa nggero
Ma doho di nggaro
Kapela sara goa gopa
Ina na’e gepu
Liki ka nggoi
Ese fiko nahu
Wio wao
Salaja wau
Kido kado
Salaja kodo
Kini Tutu Kalikuma sudah ditinggalkan oleh para pendukungnya. Sejak berabad-abad lamanya permainan ini digemari dan digeluti masyarakat Bima. Apakah ini kesalahan proses regenerasi atau kah memang pengaruh permainan modern dan import yang gencar merambah ruang kehidupan anak-anak zaman sekarang ? Satu hal yang pasti, perlu upaya pelestarian melalui pendidikan, apalagi ada mata pelajaran MULOK di sekolah-sekolah. Ayo, siapa yang peduli melestarikan ini mari kita menuangkan ide dan gagasan….!
Tutu Kalikuma dimainkan oleh anak-anak perempuan berusia sekitar 6-12 tahun. Setiap pemain harus sudah hafal lagu dan dialog. Pada awal permainan, anak-anak duduk bersila, telapak tangan digenggam dengan posisi tersusun tegak lurus. Seorang pemimpin bernyanyi sambil memukul tumpukan kepalan tangan temannya. Pada setiap akhir lagu, genggaman yang dibawah dibuka. Bersamaan dengan itu terjadi dialog antara pemimpin dengan pemain dalam bentuk tanya jawab.
Selama permainan, anak-anak melantunkan lagu Tutu Kalikuma dengan syair sebagai berikut:
Tutu Kalikuma ma
Sa anggo ngo
Wai lele le
La jami mpako
Kadui ma mpiki
La hasa nggero
Ma doho di nggaro
Kapela sara goa gopa
Ina na’e gepu
Liki ka nggoi
Ese fiko nahu
Wio wao
Salaja wau
Kido kado
Salaja kodo
Kini Tutu Kalikuma sudah ditinggalkan oleh para pendukungnya. Sejak berabad-abad lamanya permainan ini digemari dan digeluti masyarakat Bima. Apakah ini kesalahan proses regenerasi atau kah memang pengaruh permainan modern dan import yang gencar merambah ruang kehidupan anak-anak zaman sekarang ? Satu hal yang pasti, perlu upaya pelestarian melalui pendidikan, apalagi ada mata pelajaran MULOK di sekolah-sekolah. Ayo, siapa yang peduli melestarikan ini mari kita menuangkan ide dan gagasan….!
Permainan Ntumbu Tuta
Salah satu budaya bima yang masih bertahan dan terus dikembnangkan adalah adu kepala. Buaya dan sekalugus keseniaan ini berlokasi di Kecamatan Wawo Kabupaten Bima. Tradisi yang sudah berumur sama dengan keberadaan daerah bima ini tidak sembarang orang dapat memainkannya. Hal ini karena perlu dipelajari secara serius dan mendalam melalui seorang guru. Sehingga tidak heran, hanya terdiri dari beberapa orang saja yang mampu memerankan tradisi tersebut. Belum lama ini digelar budaya adu kepala di halaman Kantor Bupati Bima dan mendapat prehatian luas dari masyarakat, termasuk turis manca negara.
Busana Adat Bima Yang Anggun
Tenun Ikat Bima pernah dikenakan oleh Kepala-Kepala Negara pada Pertemuan APEC di Bali beberapa Tahun Lalu. Termasuk dikenakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat menyampaikan Visi Misinya sebagai Calon Presiden di hadapan Anggota KADIN pada Pemilu Pilpres Tahun 2009. Hal ini tentunya menjadi sebuah kebanggan bahwa daerah kecil di ujung timur NTB ini memiliki segudang potensi alam dan budaya yang perlu dikembangkan.
Secara umum busana atau pakaian adat Bima hampir sama dengan Sulawesi Selatan. Hal itu diperkuat dengan ikatan sejarah bahwa Bima dengan Makasar, Gowa, Bone dan Tallo itu memiliki hubungan dan ikatan kekeluargaan serta kekerabatan. Proses pembauran dan asimilasi budaya itu telah berlangsung lama dan mempengaruhi juga cara berbusana dan motif busana yang dikenakan. Meskipun ada beberapa perbedaan antara busana adat Bima dengan Sulawesi Selatan.
Warna yang menonjol dalam pakaian adat Bima antara lain hitam, biru tua, coklat, merah dan kemerah-merahan serta putih. Untuk pakaian wanita memakai kain sarung kotak-kotak yang dikenal dengan sebutan Tembe Lombo. Disamping pakaian sehari-hari pakaian adat juga diatur oleh pihak Kesultanan. Yang diatur oleh Majelis Adat yang disebut KANI SARA. Prosedur dan Tata Cara pemakaiannya pun telah diatur dalam ketetapan Hadat.
Menurut Muslimin Hamzah ada empat golongan pakaian adat sehari-hari masyarakat Bima. Pertama, pakaian yang digunakan secara umum sebagai pakaian harian atau pakaian untuk acara resmi. Kedua, pakaian Dinas Para Pejabat Kesultanan. Ketiga, Pakaian Pengantin, baik yang dipakai oleh golongan bangsawan, golongan menengah, maupun golongan masyarakat umum termasuk pakaian untuk khitanan. Keempat, Pakaian Penari.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Bima mempunyai pakaian sendiri. Khusus untuk wanita meliputi Baju Poro. Baju ini terbuat dari kain yang agak tipis tetapi tidak tembus pandang. Umumnya berwarna biru tua, hitam, coklat tua dan ungu. Bagi gadis-gadis Bima biasanya memakai warna ungu atau coklat tua. Para wanita pun memakai aneka perhiasan seperti gelang, anting dan lain-lain. Namun terlarang untuk memakai secara berlebihan.
Kaum Pria mempunyai pakaian sehari-hari yang khas. Yang lazim adalah Sambolo atau Ikat Kepala. Umumnya bercorak kotak-kotak dan dihiasi tenunan benang perak/emas. Terkadang lelaki memakai baju kemeja atau baju lengan pendek atau jas tutup dengan warna putih atau hitam atau warna cerah lainnya. Untuk sarung biasanya memakai sarung pelekat yang dikenal dengan nama Tembe Kota Bali Mpida yang bercorak Kotak-kotak atau memaki Tembe Nggoli yang pemakaiannya agak panjang atau terjurai pada bagian depannya.
Untuk hiasan kaum pria memakai Salampe, sejenis dodot yang dililitkan dipinggang. Biasanya salampe berwarna dasar kuning, merah, hijau dan putih. Bagi orang dewasa biasanya menyelipkan pisau pada lilitan Salampe. Letaknya agak ke kiri pusar, sedangkan hulunya agak terjurai ke kanan. Pakaian dan busana adat Bima sangat banyak. Ini adalah kekayaan dan kearifan masa silam yang seharusnya dipertahankan dari terpaan arus globalisasi saat ini. Hanya beberapa saja yang masih dapat dilihat dan diperagakan hingga saat ini. Perlu ada upaya serius untuk melestarikan dengan berbagai kebijakan Pemerintah Daerah agar pakaian adapt ini tidak punah ditelan arus zaman. Perlu ad aide kreatif untuk mempertahankannya misalanya dengan menggelar Show Busana Adat Bima atau menetapkan dalam Peraturan Daerah tentang pelestarian Pakaian Adat Bima.
Secara umum busana atau pakaian adat Bima hampir sama dengan Sulawesi Selatan. Hal itu diperkuat dengan ikatan sejarah bahwa Bima dengan Makasar, Gowa, Bone dan Tallo itu memiliki hubungan dan ikatan kekeluargaan serta kekerabatan. Proses pembauran dan asimilasi budaya itu telah berlangsung lama dan mempengaruhi juga cara berbusana dan motif busana yang dikenakan. Meskipun ada beberapa perbedaan antara busana adat Bima dengan Sulawesi Selatan.
Warna yang menonjol dalam pakaian adat Bima antara lain hitam, biru tua, coklat, merah dan kemerah-merahan serta putih. Untuk pakaian wanita memakai kain sarung kotak-kotak yang dikenal dengan sebutan Tembe Lombo. Disamping pakaian sehari-hari pakaian adat juga diatur oleh pihak Kesultanan. Yang diatur oleh Majelis Adat yang disebut KANI SARA. Prosedur dan Tata Cara pemakaiannya pun telah diatur dalam ketetapan Hadat.
Menurut Muslimin Hamzah ada empat golongan pakaian adat sehari-hari masyarakat Bima. Pertama, pakaian yang digunakan secara umum sebagai pakaian harian atau pakaian untuk acara resmi. Kedua, pakaian Dinas Para Pejabat Kesultanan. Ketiga, Pakaian Pengantin, baik yang dipakai oleh golongan bangsawan, golongan menengah, maupun golongan masyarakat umum termasuk pakaian untuk khitanan. Keempat, Pakaian Penari.
Dalam kehidupan sehari-hari orang Bima mempunyai pakaian sendiri. Khusus untuk wanita meliputi Baju Poro. Baju ini terbuat dari kain yang agak tipis tetapi tidak tembus pandang. Umumnya berwarna biru tua, hitam, coklat tua dan ungu. Bagi gadis-gadis Bima biasanya memakai warna ungu atau coklat tua. Para wanita pun memakai aneka perhiasan seperti gelang, anting dan lain-lain. Namun terlarang untuk memakai secara berlebihan.
Kaum Pria mempunyai pakaian sehari-hari yang khas. Yang lazim adalah Sambolo atau Ikat Kepala. Umumnya bercorak kotak-kotak dan dihiasi tenunan benang perak/emas. Terkadang lelaki memakai baju kemeja atau baju lengan pendek atau jas tutup dengan warna putih atau hitam atau warna cerah lainnya. Untuk sarung biasanya memakai sarung pelekat yang dikenal dengan nama Tembe Kota Bali Mpida yang bercorak Kotak-kotak atau memaki Tembe Nggoli yang pemakaiannya agak panjang atau terjurai pada bagian depannya.
Untuk hiasan kaum pria memakai Salampe, sejenis dodot yang dililitkan dipinggang. Biasanya salampe berwarna dasar kuning, merah, hijau dan putih. Bagi orang dewasa biasanya menyelipkan pisau pada lilitan Salampe. Letaknya agak ke kiri pusar, sedangkan hulunya agak terjurai ke kanan. Pakaian dan busana adat Bima sangat banyak. Ini adalah kekayaan dan kearifan masa silam yang seharusnya dipertahankan dari terpaan arus globalisasi saat ini. Hanya beberapa saja yang masih dapat dilihat dan diperagakan hingga saat ini. Perlu ada upaya serius untuk melestarikan dengan berbagai kebijakan Pemerintah Daerah agar pakaian adapt ini tidak punah ditelan arus zaman. Perlu ad aide kreatif untuk mempertahankannya misalanya dengan menggelar Show Busana Adat Bima atau menetapkan dalam Peraturan Daerah tentang pelestarian Pakaian Adat Bima.
Makna Dibalik Aneka Motif Tenunan Bima
Dimasa kejayaan Kesultanan Bima, hasil tenunan seperti Tembe (Sarung), Sambolo (Destar) dan Weri (Ikat Pinggang) cukup laris dalam perdagangan Nusantara.
Para pembeli terpikat dengan tenunan Bima bukan hanya karena mutunya tapi juga mootif khas yang berbeda dengan motif tenunan suku-suku lainnya. Tenunan Bima yang tersohor pada masa itu adalah Tembe songke (Sarung songket) dan Sambolo Songke(Destar Songket).
Ragam motif tenunan Bima relatif sedikit bila dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Motif tenunan Bima hanya menampilkan satu dari sekitar sembilan ragam motif hiasan dalam satu lembar sarung atau pakaian.
Misalnya kalau hiasan bunga sekuntum (Bunga Satako) tidak dapat disertakan dengan Bunga Aruna( Bunga Nenas).Berikut beberapa motif dan makna dari ragam hiasan dalam tenunan khas Bima.
1. Bunga Samobo (bunga Sekuntum), sebagai mahluk sosial manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus bermanfaat bagi orang lain, laksana sekuntum bunga yang memberikan aroma harum bagi lingkungannya.
2. Bunga Satako (Bunga Setangkai), sebagai simbol kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi lingkungannya.
3. Bunga Aruna (Bunga Nenas). Nenas yang terdiri dari 99 sisik(helai) merupakan simbol dari 99 sifat utama Allah yang wajib dipedomani dan diteladani oleh manusia dalam menjalankan kehidupan agar terwujud kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
4. Bunga Kakando (Rebung) mengandung makna hidup yang penuh dinamika yang mesti jalani dengan penuh semangat.
Disamping mengenal motif bunga, tenunan Bima juga mengenal motif geometri seperti Gari(garis), Nggusu Tolu atau Pado Tolu( Segitiga), Nggusu Upa (Segi empat, Pado Waji (Jajaran Genjang), serta Nggusu Waru ( Segi Delapan ). Motif Gari(Garis) mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis. Nggusu Tolu(Segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut yang lancip. Nggusu Upa atau segi empat merupakan simbol kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif Pado Waji hampir sama maknanya dengan Nggusu Tolu, tetapi selain mangakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya. Sedangkan Nggusu Waru, idealnya seorang pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu :Beriman Dan Bertaqwa, Na Mboto Ilmu Ro Bae Ade ( Memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas), Loa Ra Tingi ( Cerdas Dan Terampil), Taho Nggahi Ra Eli (Bertutur kata yang halus dan sopan), Taho Ruku Ro Rawi (Bertingkah Laku Yang Sopan), Londo Ro Dou (Berasal Dari Keturunan Yang Baik),Hidi Ro Tahona ( Sehat Jasmani Dan rohani), Mori Ra Woko ( Mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari).
Berkaitan dengan warna, unsur warna dalam seni rupa Bima terdiri dari dana kala(warna merah), dana monca(warna kuning), Dana Owa(Warna Biru), Dana Jao (Warna Hijau), Dana Keta (Warna Ungu), Dana Bako (warna merah jambu), Dana Me’e (Warna Hitam) dan Dana Lanta (Warna Putih). Setiap warna memiliki makna. Merah mengandung nilai keberanian. Putih mengandung nilai kesucian. Biru simbol kedamaian dan keteguhan hati. Kuning bermakna kejayaan dan kebesaran. Hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Warna Ungu,merah jambu dan hitam melambangkan kesbaran dan ketabahan. Sedangkan coklat melambangkan kesabaran dan ketabahan kaum perempuan dalam menjalankan tugas. Dalam Seni Rupa Bima warna paling dominan adalah hitam sebagai simbol Bumi (Tanah) bermakna kesabaran. (alan malingi -Sumber Bacaan : M. Hilir Ismail dkk : Seni Budaya Mbojo (Seni Rupa Dan Seni Arsitektur ))
(Dari: http//sweet.student.umm.ac.id)
Para pembeli terpikat dengan tenunan Bima bukan hanya karena mutunya tapi juga mootif khas yang berbeda dengan motif tenunan suku-suku lainnya. Tenunan Bima yang tersohor pada masa itu adalah Tembe songke (Sarung songket) dan Sambolo Songke(Destar Songket).
Ragam motif tenunan Bima relatif sedikit bila dibandingkan dengan Jawa dan Bali. Motif tenunan Bima hanya menampilkan satu dari sekitar sembilan ragam motif hiasan dalam satu lembar sarung atau pakaian.
Misalnya kalau hiasan bunga sekuntum (Bunga Satako) tidak dapat disertakan dengan Bunga Aruna( Bunga Nenas).Berikut beberapa motif dan makna dari ragam hiasan dalam tenunan khas Bima.
1. Bunga Samobo (bunga Sekuntum), sebagai mahluk sosial manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus bermanfaat bagi orang lain, laksana sekuntum bunga yang memberikan aroma harum bagi lingkungannya.
2. Bunga Satako (Bunga Setangkai), sebagai simbol kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi lingkungannya.
3. Bunga Aruna (Bunga Nenas). Nenas yang terdiri dari 99 sisik(helai) merupakan simbol dari 99 sifat utama Allah yang wajib dipedomani dan diteladani oleh manusia dalam menjalankan kehidupan agar terwujud kehidupan bahagia dunia dan akhirat.
4. Bunga Kakando (Rebung) mengandung makna hidup yang penuh dinamika yang mesti jalani dengan penuh semangat.
Disamping mengenal motif bunga, tenunan Bima juga mengenal motif geometri seperti Gari(garis), Nggusu Tolu atau Pado Tolu( Segitiga), Nggusu Upa (Segi empat, Pado Waji (Jajaran Genjang), serta Nggusu Waru ( Segi Delapan ). Motif Gari(Garis) mengandung makna bahwa manusia harus bersikap jujur dan tegas dalam melaksanakan tugas, seperti lurusnya garis. Nggusu Tolu(Segitiga) berbentuk kerucut mengandung makna bahwa kekuasaan tertinggi ada di tangan Allah yang disimbolkan dalam puncak kerucut yang lancip. Nggusu Upa atau segi empat merupakan simbol kebersamaan dengan tetangga dan kerabat. Motif Pado Waji hampir sama maknanya dengan Nggusu Tolu, tetapi selain mangakui kekuasaan Allah juga harus mengakui kekuasaan pemimpin yang dilukiskan dengan dua sudut tumpul bagian kiri kanannya. Sedangkan Nggusu Waru, idealnya seorang pemimpin harus memenuhi delapan persyaratan yaitu :Beriman Dan Bertaqwa, Na Mboto Ilmu Ro Bae Ade ( Memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas), Loa Ra Tingi ( Cerdas Dan Terampil), Taho Nggahi Ra Eli (Bertutur kata yang halus dan sopan), Taho Ruku Ro Rawi (Bertingkah Laku Yang Sopan), Londo Ro Dou (Berasal Dari Keturunan Yang Baik),Hidi Ro Tahona ( Sehat Jasmani Dan rohani), Mori Ra Woko ( Mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari).
Berkaitan dengan warna, unsur warna dalam seni rupa Bima terdiri dari dana kala(warna merah), dana monca(warna kuning), Dana Owa(Warna Biru), Dana Jao (Warna Hijau), Dana Keta (Warna Ungu), Dana Bako (warna merah jambu), Dana Me’e (Warna Hitam) dan Dana Lanta (Warna Putih). Setiap warna memiliki makna. Merah mengandung nilai keberanian. Putih mengandung nilai kesucian. Biru simbol kedamaian dan keteguhan hati. Kuning bermakna kejayaan dan kebesaran. Hijau melambangkan kesuburan dan kemakmuran. Warna Ungu,merah jambu dan hitam melambangkan kesbaran dan ketabahan. Sedangkan coklat melambangkan kesabaran dan ketabahan kaum perempuan dalam menjalankan tugas. Dalam Seni Rupa Bima warna paling dominan adalah hitam sebagai simbol Bumi (Tanah) bermakna kesabaran. (alan malingi -Sumber Bacaan : M. Hilir Ismail dkk : Seni Budaya Mbojo (Seni Rupa Dan Seni Arsitektur ))
(Dari: http//sweet.student.umm.ac.id)
Upacara Adat Hanta Ua Pua
Sebagai sebuah tradisi Islam yang sejak ratusan tahun lalu sudah digelar rutin oleh Lembaga Adat Dana Mbojo bersama Pemerintah Kabupaten Bima dan Pemerintah Kota Bima kini akan kembali digelar Sabtu 27 Februari 2010. “Ua Pua sudah masuk dalam kalender Pariwista Nasional”, kata H. Nurdin, SH kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bima yang juga sekaligus sebagai Sekretaris Panitia
“Perayaan Ua Pua kali ini akan dihadiri oleh Ketua Mahakamah Konstitusi Prof. Dr. Mahfud MD. Disamping itu, undangan yang telah memastikan diri untuk menghadiri acara adalah Dirjen Kebudayaan dan Pariwisata RI”.
Prosesi Ua Pua kali ini menurut Nurdin, tidak akan berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Perhelatan Ua Pua, akan dimulai dengan Dizikir Maulud yang akan dilaksanakan pada hari Kamis 26 Februari 2010 atau tepatnya 12 Rabiul Awal di Istana Bima, dan Dzikir Roko yang akan dihelat di Kampung Melayu oleh para Penghulu Melayu.
“Dzikir Maulud kali ini akan dipimpin langsung oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Bima,” Urai Nurdin.
Seperti tahun sebelumnya, rute perjalanan Uma Lige yang dikirab oleh ratusan pemuda akan menggusung penari Lenggo Mbojo dan Lenggo Melayu melewati rute Jembatan Bagareso, melewati Perempatan Lancar Jaya sampai Hotel Sangiang dan memasuki pelataran pintu utara Istana Bima. Makanya Nurdin mengingatkan kepada para pedagang kaki lima untuk mendukung sepenuhnya perhelatan tahunan ini.
“Panitia mengharapkan kerjasama yang baik dari para pedagang untuk mendukung suksesnya acara Ua Pua”.
Dijadwalkan, Ketua Mahkamah Konsitusi Prof. Dr. Mahfud MD, akan melaksanakan sholat Jumat bersama di Masjid Sultan Muhammad Salahuddin sekaligus akan menjadi Khatib. Pada hari yang sama, akan berdialog dengan masyarakat di Gedung DPRD Kabupaten Bima dalam acara Seminar Sehari yang akan membahas tentang ketatanegaraan konstitusi kekinian di Indonesia.
Jumat, 21 Januari 2011
Makna Pernikahan Dalam Tradisi Bima-dompu
Makna Pernikahan Dalam Tradisi Bima-Dompu
(Artikel Kampung) |
KM Kota Bima (Sarangge) Pernikahan atau Nika ra neku dalam tradisi Bima- Dompu memiliki aturan baku. Aturan itu cukup ketat sehingga satu kesalahan bisa membuat rencana pernikahan (nika) menjadi tertunda bahkan batal. Dulu, seorang calon mempelai laki-laki tidak diperkenankan berpapasan dengan calon mertua. Dia harus menghindari jalan berpapasan. Jika kebetulan berpapasan, maka calon dianggap tidak sopan. Untuk itu, harus dihukum dengan menolaknya menjadi menantu. Aturan yang ketat itu tentu menjadi bermakna karena ditaati oleh segenap anggota masyarakat. Kini, tentu saja aturan tersebut sudah ditinggalkan. Misalnya ngge’e nuru atau tinggal bersama calon mertua untuk mengabdi di sana. “ Nika ro Neku” terdiri dari dua kata yaitu nika dan neku. Kata nika bersal dari bahsa Indonesia ( bahasa melayu) nikah. Karena bahasa Bima-Dompu tidak mengenal konsonan akhir, maka kata nikah menjadi “ nika”. Kata neku atau nako sama artinya dengan “nika”. Pengertian nika ro neku adalah serangkaian upacara adat yang dilakukan sebelum dan sesudah upacara lafa( akad). Bagi semua orang tua, akan merasa berbahagia bila bisa melaksanakan sunah Rasul yang menganjurkan muslim dewasa untuk menikah. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila pelaksanaan nika diawali serta diakhiri dengan berbagai upacara adat sebagai luapan rasa bahagia dan syukur kehadapan Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Bagi masyarakat Bima-Dompu, upacara nika ro neku, merupakan upacara daur hidup yang sangat menentukan masa depan putra – putri mereka. Keluarga, sanak saudara, karib kerabat, dan warga terlibat dalam upacara ini. Karena itu upacara Nika ro neku termasuk “ Rawi Rasa” ( upacara yang harus melibatkan seluruh warga kampung). Pada masa lalu, rangkaian pernikahan adat masyarakat Bima-Dompu cukup panjang yang dimulai dari proses meminang atau yang dikenal dengan La Lose Ro La Ludi hingga upacara Tawari atau Pamaco. Rangkaian dari upacara adat ini mengandung makna yang mendalam untuk diterapkan dalam hidup dan kehidupan sehari-hari. Seluruh rangkaian upacara itu sesungguhnya sesuai dengan ajaran Agama Islam dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Rangkaian upacara itu telah tumbuh, berkembang dan bersemi dalam jiwa masyarakat pendukung kebudayaan Bima-Dompu selama berabad – abad lamanya. Masa kesultanan telah menyumbangkan nilai-nilai besar bagi perkembangan upacara adat dalam peri kehidupan masyarakat. Karena pada masa itu seni dan budaya, adat dan agama berjalan beriringan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Namun setelah masa kesultanan berakhir dan seiring dengan perubahan zaman, rangkaian dari prosesi itu sudah banyak yang tidak dilakukan lagi. Pola hidup masyarakat masa kini yang serba simpel adalah salah satu penyebab dari hilangnya pagelaran upacara-upacara tersebut. Kini yang masih tetap dilakukan hanyalah seputar proses peminangan dan tunangan, pengantaran mahar, akad nikah dan resepsi yang megah. Pola hidup masyarakat masa kini yang serba praktis dan simpel karena ksibukan masing-masing telah menggeser budaya gotong royong dan Teka Ra ne’e (pengantaran sumbangan ke keluarga yang berhajat) dalam setiap proses pernikahan di tengah masyarakat. Untuk itu perlu sebuah upaya secara sungguh-sungguh untuk melestarikan kembali prosesi pernikahan adat Bima-Dompu untuk kepentingan wisata budaya yang akan menarik minat wisatawan, sekaligus penanaman nilai-nilai kepada generasi muda. |
Langganan:
Postingan (Atom)